Mohon tunggu...
Patrianef Patrianef
Patrianef Patrianef Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Bedah di RS Pemerintah

Patrianef, seorang dokter spesialis bagi pasienku. Guru bagi murid muridku. Suami bagi istriku dan sangat berbahagia mendapat panggilan papa dari anak anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Masih Ada yang Ingin Jadi Dokter di Indonesia?

16 Juli 2016   00:11 Diperbarui: 1 Juli 2017   03:53 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokter. Korankabar.com

Cukup banyak bukan, tetapi itu masih kurang. Jika ada dokter yang bertugas disuatu daerah sulit dan terpencil, maka mereka akan susah keluar dari sana dengan alasan tenaga dokter sangat diperlukan. Untuk pindah dari daerah tersebut maka mereka akan berusaha dengan segala cara, bahkan ada yang sampai berhenti menjadi pegawai agar dapat pindah kekota dan menyekolahkan anaknya sehingga mendapatkan pendidikan yang lebih baik. 

Manusiawi sekali, tetapi dokter dianggap wajar dan seharusnya mengabdi didaerah sulit. Untuk itulah dokter dididik katanya. Jika ada dokter yang akhirnya berhenti dan pindah, maka akan ada yang berkata bahwa si dokter tidak nasionalis. Tragis memang jika rasa nasionalis hanya diukur dengan kemauan bertugas didaerah terpencil, dan jika dikerjakan akan sulit keluar dari daerah tersebut.

Sudahlah, cukup banyak itu. Tetapi sungguh masih banyak lagi yang lain. Jika kualitas pelayanan rendah dan indikator indikator pelayanan kesehatan masih susah bergerak membaik, maka lagi lagi dokter juga yang disalahkan. Kirim dokter ke daerah sulit. Pakaikan atribut atribut yang meningkatkan rasa nasionalis, latih mereka dengan cara semi militer. Gak usah dipaksa paksa, sudah sejak lama sekali banyak dokter yang mengabdi didaerah sulit dengan gaji alakadarnya. Banyak dokter yang berkorban pada masa mudanya dengan pergi kedaerah sulit, perbatasan dan terpencil serta bermasalah. 

Coba saja sekarang, cermati gaji dokter yang dikirim dengan nama program “nusantara sehat”, gaji mereka lebih kecil dari pendapatan pengemudi bus trans jakarta. Lagi lagi dokter yang menjadi sumber rendahnya mutu pelayanan kesehatan. Sudah cukup?, belum, tambah lagi pendidikan dokter. Buat profesi baru lag untuk bertugas di pelayanan primeri. Lagi lagi dokter juga dianggap akar masalah kualitas pelayanan kesehatan nyang rendah. Gampang memang menimpakan masalah pada dokter.

Dokter dengan lama pendidikan dan proses lain lain paling cepat tujuh sampai delapan tahun baru bisa berpraktek sebagai dokter dan digaji sama dengan profesi lain. Kenapa?, akan timbul kecemburuan jika pendapatan mereka dinaikkan. Bisa berdemo profesi lain. Alasan yang terlalu dicari cari untuk tetap mempertahankan dokter indonesia pada posisi susah. Memang paling mudah menekan dokter.

Cukupkan?. Masih banyak lagi, iklan dari BPJS tentang anak yang dibawa orang tuanya berobat kedokter akibat mercon. Bukan dokter yang menentukan jika korban mercon tidak ditanggung BPJS, tetapi BPJS lah yang membuat aturan tersebut. Digambarkan bahwa dokter yang memberi penjelasnnya. Tragisnya lagi ditambah dengan keterangan jika membeli mercon jangan lupa sediakan uang untuk berobat. Mana ada dokter yang berbicara begitu kepada pasien. Mau korban mercon, mau korban bom, mau korban kecelakaan akan ditolong oleh dokter. Pembiayaan bukan tugas dokter. 

Yang lebih menyedihkan karikatur itu dibuat oleh dokter dokter muda yang katanya sedang internship, kenapa sedih?. Mereka menganggap bahwa itulah tugas mereka sebagai dokter, kemampuan sosialisasi BPJS luar biasa sehingga bisa sebagian dokter beranggapan itu tugas mereka. Tragis sekali memang. Dan yang membuat mata saya berlinang, karakter dokter digambarkan dengan tengkorak. Tragis dan selesai hanya dengan ucapan maaf.

Masih belum cukup teman teman. Vaksin palsu yang beredar, dokter dan paramedis juga yang salah. Ada lembaga yang tugasnya mengawasi peredaran obat dan makanan di negara ini, kenapa bukan dia yang disalahkan, kenapa harus kami lagi yang disalahkan dan didemo. Mana ada dokter yang sengaja memberikan vaksin palsu ke pasiennya. Rantai distribusi yang bermasalah, dokter juga yang menanggung kesalahan.

Akan tiba saatnya mungkin akan ada yang berteriak bahwa dokter indonesia ini tidak berkompetensi dan kurang rasa nasionalisnya sehingga perlu diimpor dokter dari luar dengan biaya yang cukup besar. Mungkin saja, kenapa tidak. Kita memang suka segala sesuatu yang berbau impor, sehingga barang barang dalam negeripun diberi nama nama yang seolah olah merupakan barang impor. Banyak yang lebih suka apel washington ketimbang apel malang, lebih suka sapi impor dari sapi lokal, lebih suka durian “musang king” ketimbang durian lokal. 

Mana ada yang mau membuat mobil lokal, gampang, ambil saja barang buatan luar negeri, buat dinegeri ini dengan kandungan lokal diatas sekian persen, itu kan sudah lebih dari buatan lokal. Berapa banyak mobil dan motor jepang bersiliweran, hitung saja, berapa royalti mereknya saja, gak usah hitung komponen impor. Berapa banyak yang kita kirim ke negara jepang tersebut. Kita memang penggila merek luar negeri, bayangkan saja jika nanti banyak dokter impor, gak peduli orang soal bayaran. Antrian pasti akan panjang.

Akhirnya dokter indonesia juga menjadi masalah bagi organisasi profesinya. Jika ada dokter yang melakukan aksi damai untuk membela profesi maka akan keluar pernyatan dari organisasi profesi, “itu bukan dari kami, itu diluar tanggung jawab kami , dan itu mereka lakukan atas nama pribadi”, dan keluarlah himbauan dari petinggi petinggi kami yang merasa akan disulitkan jika ada stafnya yng demo agar tidak ikut aksi damai. “Kalaupun mau melakukan, lakukan saja di RS”. Dokter menjadi masalah bagi petinggi petinggi organisasi profesi, karena mereka tidak ingin diberi cap ekstrim dan mungkin saja mereka ingin dilirik untuk menjadi pejabat yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun