Kepada Yth
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Yang Mulia Ibu Menteri Kesehatan,
Saat ini kami sebagai bawahan Ibu dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan melihat banyak terjadi pelayanan substandar dibidang pelayanan kesehatan yang menggunakan skim JKN. Tentu saja kami sebagai warga negara memahami bahwa Pemerintah akan selalu mengawal dan memperbaiki sistem Jaminan Kesehatan Nasional sesuai amanat UU SJSN no 40/2004. Kami paham dan yakin pemerintah melalui Kementerian Kesehatan akan berusaha menaikkan anggaran JKN agar dapat tercapai Universal Coverage yang tinggal 3 tahun lagi.
Dalam pelaksanaan JKN ini kami melihat bahwa pelaksana JKN yaitu BPJS telah berperan melebihi regulator dan juga meningkatkan ketidak percayaan masyarakat bahkan termasuk dokter terhadap JKN.Â
Ada beberapa hal yang dapat kami sampaikan kepada Ibu:
1. BPJS sendiri mulai dari jajaran direksi sampai kepada level pelaksana kecuali karyawan magang menggunakan skim pelayanan Mandiri Inhealth-BPJS. Sebagaimana dijelaskan oleh BPJS kepada media massa bahwa cara itu mereka tempuh agar manfaat yang mereka terima tidak berkurang seperti yang mereka terima dahulu pada waktu masih menjadi PT Askes. Sebagaimana dapat dilihat diwebsite Mandiri Inhealth, salah satu manfaat menggunakan COB Inhealth BPJS adalah tidak perlunya antrian dan rujukan berjenjang serta dapat dirawat diluar negeri kalau perlu. Hal ini mengurangi kepekaan BPJS sebagai pelaksana terhadap keruwetan prosedur yang mereka bikin dan mengurangi kepekaan mereka terhadap keluhan peserta pelayanan JKN.
2. Penggunaan Skim Mandiri Inhealth - BPJS pada karyawan BPJS merupakan bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap skim JKN yang mereka pasarkan. Pertanyaan yang akan terlontar dari Perusahaan Swasta adalah apakah manfaat yang mereka terima sama dengan keikut sertaan pada asuransi swasta sebelum periode JKN dan tentu saja BPJS harus menjawab jika anda ingin lebih bagus gunakan mekanisme COB yang sudah kerjasama dengan BPJS. Sekilas tidak ada masalah, tetapi penggunaan anggaran ganda untuk satu keperluan tentu saja melanggar azaz efisiensi diperusahaan manapun. Dan tentu saja terkesan bahwa BPJS ikut memasarkan Asuransi Swasta yang bekerja sama dengan mereka.
3. BPJS seharusnya melapor dan mengajak diskusi Kementerian Kesehatan selaku regulator untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kalau perlu berkreasi melalui regulator untuk menampung kepersertaan pasien pasien yang ingin manfaat lebih.
4. BPJS selalu berkelit bahwa hak mereka sama seperti warga negara lain seperti tertera dalam UU SJSN no 40/2004 ,Perpres 12 /2013, Permenkes 71/2013. Mereka memang punya hak, tetapi sebagai pelaksana JKN kedudukan mereka berbeda. Karena dengan keikutan mereka sebagai peserta BPJS tanpa skim COB membuat mereka ikut merasakan kualitas pelayanan kesehatan skim JKN yang mereka kelola.Pengakuan dalam beberapa media perihal double proteksi tersebut mengindikasikan bahwa double proteksi mereka terstruktur. Terasa sangat menyakitkan anggaran yang digunakan untuk menggaji mereka merupakan uang rakyat yang dikucurkan untuk badan bernama BPJS tetapi digunakan untuk proteksi lagi melalui asuransi swasta.Â
5. BPJS kewenangannya terlihat seperti regulator melebihi kementerian kesehatan , salah satunya mereka membuat peraturan tentang penyakit penyakit yang dilayani di FKTP dan mana yang harus dirujuk. BPJS membentuk badan lagi bernama Dewan Pertimbangan Medik yang lebih berfungsi sebagai verifikator medik. Sesuai kewenangannya mereka juga mengusulkan anggota TKMKB dan tentu saja anggotanya sesuai keinginan mereka dan kehilangan independennya. Kami melihat kewenangan BPJS sudah menggeser peranan regulator sehingga hal ini harus dikoreksi oleh regulator.
6. Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan melalui kuasa verifikatornya mereka memangkas biaya sehingga menjadi tidak wajar, melalui DPM nya mereka menciptakan terminologi baru seperti terminologi sepsis yang berubah hanya dengan tujuan agar mengurangi biaya. BPJS melalui verifikator menurunkan klasifikasi severity penyakit dan melalui verifikator juga merubah penatalaksanaan pasien yang seharusnya rawat inap menjadi rawat jalan. Hal ini secara langsung menimbulkan pelayanan substandar. Jika terjadi pelayanan substandar yang terkorban adalah Kementerian Kesehatan.
7. Disaat yang sama BPJS selalu menyalahkan regulator terutama kementerian kesehatan jika terjadi pelayanan substandar. Misalnya menyalahkan Permenkes tentang tarif jika suatu kasus tidak tercover. Alih alih menyalahkan Kemenkes, harusnya BPJS lebih elegan dalam cara mengatasi kendala kendala dilapangan sehingga tidak terjadi saling salah menyalahkan. Sering terkesan bahwa BPJS dalam hal ini lebih superior dibandingkan Kementerian Kesehatan.