Mohon tunggu...
Patria Gintings
Patria Gintings Mohon Tunggu... -

Penggemar komunikasi & branding, senang berbagi & bertukar ilmu, percaya bahwa politik butuh ideologi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Crowdsourcing Dalam Pilpres 2014

26 Juni 2014   02:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:53 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai seorang kader partai politik, praktisi komunikasi, dan pemerhati political marketing yang turut berpartisipasi di dua pemilihan presiden, tiga pemilu legislatif, dan berbagai pemilihan kepala daerah di Indonesia, ada sebuah fenomena baru yang saya lihat muncul secara signifikan di Pilpres 2014 sekarang yaitu crowdsourcing. Dalam ranah bisnis, crowdsourcing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah kondisi kala sebuah ide/jasa/konten bukan dihasilkan secara satu arah dari sebuah institusi tapi dengan menggunakan kontribusi dari sekelompok individu di luar institusi tersebut, terutama dari komunitas online.

Singkatnya crowdsourcing adalah kegiatan kolaborasi institusi dengan berbagai individu eksternal yang umumnya dilakukan secara online. Kadang melibatkan kompensasi finansial namun sering secara gratis. Lihat Wikipedia sebagai contoh. Lewat sudah masa orang memiliki jejeran ensiklopedia di rumahnya. Berkat Wikipedia, sekarang dan ke depannya orang bisa cukup masuk dalam jaringan internet untuk mencari berbagai informasi tentang hampir semua topik.

Sekarang crowdsourcing sudah terlihat penggunaannya di dalam komunikasi politik Indonesia. Sebagai pendukung pasangan nomer 2 di Pilpres, saya melihat banyak materi kampanye yang mensosialisasikan atau mendukung Jokowi-JK dimunculkan oleh rakyat atau sekarang ini disebut relawan. Sebut saja lagu “Salam 2 Jari” oleh Slank, profile picture “I stand on the right side”, berbagai infografis yang menjelaskan pemikiran, program dan rekam jejak Jokowi-JK, cerita bergambar dengan gaya Tintin tentang blusukan Jokowi, dan bermacam lagi produk kreatif lainnya dari para relawan.

Semuanya terjadi secara massif dan bersandingan dengan materi kampanye yang dibuat oleh parpol pengusung. Crowdsourcing menurut saya menjadi istimewa dalam pilpres 2014 karena tiga alasan setidaknya.

Pertama, di berbagai tingkatan pemilihan umum di Indonesia yang pernah saya amati dan ikuti (pileg, pilpres, pilkada) sebelumnya, materi kampanye umumnya, bila tidak hampir selalu, bersifat satu arah yaitu diciptakan dan dipromosikan parpol peserta atau para calon. Di tahun 2014 ini saya pertama melihat begitu banyaknya materi kampanye yang justru diciptakan oleh pemilih untuk kandidat yang mereka dukung.

Kedua, materi kampanye yang diciptakan oleh pemilih sepengetahuan saya dilakukan secara sukarela, maka itu disebut relawan. Berbeda bila konsultan yang menciptakannya dengan mesin profesional yang melibatkan imbalan finansial.

Ketiga, keberadaan dan popularitas jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan Path di Indonesia memungkinkan materi kampanye dari relawan tersebar secara massif, tanpa harus melalui proses pencetakan dan distribusi fisik yang terkendala geografi.

Dalam sebuah demokrasi keterlibatan aktif rakyat dalam proses demokrasi, atau participatory democracy memang menjadi impian dan harapan. Crowdsourcing politik di Indonesia saat ini mungkin masih sebatas di masa pemilihan, namun ini merupakan satu langkah maju menuju kondisi politik Indonesia yang menempatkan rakyat sebagai subjek dan bukan objek demokrasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun