Reformasi 1998. Sekitar 25 tahun yang lalu, hampir di seluruh penjuru daerah di Indonesia, tiada hari tanpa aksi demonstrasi para mahasiswa yang menuntut mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya. Menurut pemahaman sebagian besar rakyat Indonesia, reformasi itu adalah mundurnya Presiden Soeharto, yang dinilai gagal mewujudkan tuntutan reformasi, mengatasi krisis ekonomi 1997-1998, dan gagal melindungi pihak yang lemah.
21 Mei 2023, menjadi momentum penting bagi Indonesia yakni secara simbolik sebagai peringatan 25 tahunKiranya ada satu tokoh penting dalam Reformasi 1998 yang dapat membantu kita dalam merefleksikan 25 tahun Reformasi 1998, yakni Y.B. Mangunwijaya atau dikenal sebagai Romo Mangun (1929-1999). Tahun 1997-1998 disebutnya sebagai era kegelisahan, sepanjang tahun ini pula Romo Mangun aktif menulis untuk menyuarakan pemikiran, dan keberpihakannya pada pihak yang lemah atau the underdogs. Era kegelisahan ini diwarnai dengan berbagai tragedi krisis moral, seperti kerusuhan, penjarahan, pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, maraknya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), gerakan-gerakan anti demokrasi, dan penindasan terhadap pihak yang lemah.
Syarat Demokrasi: Kecerdasan
Dalam bukunya yang berjudul Menuju Indonesia Serba Baru (1998), untuk memahami hakikat Indonesia lahir, dan diperjuangkan adalah motivasi dasar untuk membela dan mengangkat the underdogs. Motivasi dasar inilah yang perlu untuk terus diperjuangkan saat ini di tengah berbagai kepentingan berbagai pihak untuk memuaskan nafsu pribadi, dan kelompoknya sendiri. Dalam tulisannya yang lain Mata Rantai Paling Lemah (1997), Romo Mangun menekankan keberadaan empat tugas pokok yang secara eksplisit diamanatkan oleh Mukadimah UUD 1945. Pertama, membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, untuk memajukan kesejahteraan umum. Tiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Empat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Menurut Romo Mangun, dari keempat tugas pokok ini yang paling lemah direalisasikan adalah tugas ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tulisan ini pada tahun 1997, bagaimanakah sekarang? Pertanyaan ini dapat menjadi sebuah pertanyaan reflektif bagi seluruh pihak saat ini. Bagaimana kondisi pendidikan Indonesia pasca 25 tahun reformasi, apakah sudah mampu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Cerdas secara intelektual, emosional, dan moral. Bila hanya pintar saja, saya rasa para penipu, dan koruptor jugalah orang pintar. "Kekuatan rantai ditentukan oleh mata rantai yang paling lemah," lanjut Romo Mangun. Kekuatan bangsa ini, ditentukan oleh mata rantai yang paling lemah yakni upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sampai dengan saat ini, kita masih terus menggaungkan demokrasi, entah dari kalangan tua, maupun muda. Namun, menurut Romo Mangun, demokrasi yang cerdas hanya dapat berjalan di kalangan bangsa yang nalar, dan cerdas. Emosi bukan hal yang dilarang, namun harus dikendalikan dengan nalar. Kecerdasan juga memiliki fungsi bagi rakyat yang lemah, agar tidak terus-menerus menjadi santapan bagi pihak yang kuat, dan berkuasa. Hal ini dapat ditempuh melalui pendidikan yang mengutamakan basis kecerdasan yang seimbang antara intelektual, emosional, dan moral. Romo Mangun menggaris bawahi bahwa bangsa yang cerdas hidupnya akan mudah demokratis, dan mempertahankan demokrasi. Sebab, totaliterisme hanya dapat berjalan di atas kebodohan masa yang mudah dieksploitasi. Bangsa yang cerdas mampu memerdekakan diri sendiri dari segala bentuk belenggu eksploitasi.
Tugas Generasi Muda
Sebagai generasi 2000-an, yang tidak pernah terlibat secara langsung dalam Reformasi 1998, bukan berarti tidak memiliki peran dalam mewujudkan cita-cita reformasi saat ini. Romo Mangun meninggalkan sebuah bahan refleksi, dan tugas bagi generasi muda abad ke-21. Dalam tulisannya Romo Mangun mengungkapkan bahwa generasi muda masih memiliki pekerjaan rumah amat besar, dan mulia untuk menganalisis fakta dan sebab mengapa sila ke-2 (kemanusiaan yang adil dan beradab), dan ke-4 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) masih kaku implementasinya. "melihat realita, inilah rupa-rupanya wilayah utama tugas generasi muda masa kini dan mendatang," tandasnya kembali.
Selain itu, berdasarkan landasan kecerdasan. Generasi muda diharapkan mampu berjuang dengan nalar yang dingin, dan logika yang cerdas. Hanya akal sehat, dan kecerdasanlah, bersama dengan hati yang sepi ing pamrih, serta jiwa pengorbanan yang dapat mengalahkan segala senjata dan kekerasan. Melalui hal ini, Romo Mangun mengajak generasi muda, kapanpun itu, untuk mencintai sekaligus mengutamakan kedamaian. Kekerasan yang dilakukan oleh generasi muda yang viral akhir-akhir ini, bahkan didukung, dilindungi oleh lingkungannya, sangat melukai cita-cita luhur para pendiri bangsa ini yang berupaya berjuang dengan jalan damai, sekaligus bertujuan untuk melindungi pihak yang lemah.
Penutup
Sebagai sebuah penutup dalam tulisan ini, sudilah kiranya kita kembali menengok pesan pokok dan penting yang disampaikan Romo Mangun sebagai refleksi atas 25 tahun Reformasi. Pesan-pesan tersebut diwakilkan dalam tiga kata: kecerdasan, demokrasi, dan damai. Setiap generasi memiliki peran masing-masing sesuai dengan perkembangan zaman. Antara 1998 dengan 2023 adalah zaman yang berbeda, namun memiliki tugas yang sama sampai kapanpun, yakni mampu memberikan prioritas khusus bagi pihak yang lemah, dina, dan miskin dalam segala bentuk, maupun berbagai dimensi hidup mereka. Hal ini menjadi panggilan dasar sebagai manusia merdeka, dan bagian dari bangsa yang cerdas.
Menyadari bahwa sejarah bangsa, bahkan dunia kita saat ini adalah sejarah kekerasan. Berkiblat pada Darwinisme, yakni ketika hanya pihak yang kuat sebagai pemenang untuk mampu bertahan, dan berkuasa atas pihak yang lemah. Hal ini berbanding terbalik dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial, ditambah dengan karakter khas bangsa ini yakni gotong royong, untuk saling menolong. Sudah saatnya tanggungjawab kita dalam 25 tahun Reformasi 1998 ini adalah mampu memberi ruang, dan perlindungan pada pihak yang lemah. Hingga pada akhirnya ada sejarah-sejarah baru yang ditulis oleh pihak-pihak lemah, yang selama ini dibungkam oleh kekuasaan.