Mohon tunggu...
Patra Rina Dewi
Patra Rina Dewi Mohon Tunggu... lainnya -

seorang penikmat kerja sosial yang suka menulis apa saja yang dirasakan, mudah-mudahan memberi energi positif buat yang baca

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[FSC] Bukan Aku Tak Cinta

14 Agustus 2011   06:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:48 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dear Dinda, Aku rindu senyummu. Senyum paling cerah yang pernah kutemukan karena di sana ada ketulusan. Senyum yang sama di saat pertamakali kita jumpa. Kamu masih ingat kan ? Aku begitu kikuk ketika mengetahui bahwa tim relawan dari Padang yang akan berlayar bersama kami adalah muslimah berjilbab. Salah satunya, kamu. Di negaraku, aku belum pernah punya teman seorang gadis berjilbab. Betapa lucunya waktu itu, kita hanya saling senyum dari jarak jauh. Aku dan teman-temanku takut salah bersikap. Bagaimana seharusnya berkomunikasi dengan gadis berjilbab ? Dan sebenarnya aku sedikit kesal ketika uluran tanganku tak kau sambut. Kamu benar-benar tak asyik! Ha ha ha perkenalan yang lucu. Kebekuan itu berakhir ketika kamu melemparkan canda selayaknya gadis biasa. Oh ternyata pakaian tidak membatasi seseorang untuk tetap ramah ? Tidak membedakan suku, ras , agama dan warna kulit? Rasa penasaran dan pertanyaan itu ku simpan saja di dalam hati. Dinda, Ah aku suka sekali mengucapkannya. "Dinda", panggilan itu sangat indah didengarkan walaupun aku tak terlalu tahu makna sebenarnya. Itu kan datangnya dari kamu. Waktu itu aku tanya, "How do you say younger sister in Bahasa?", lalu kamu jawab "Dinda". Aku langsung suka dan kemudian memanggilmu Dinda. Kamu pun memmanggil aku "Kanda". Sampai suatu saat aku tahu panggilan Kanda dan Dinda itu bukanlah panggilan sehari-hari untuk kakak adik. Kata orang-orang sih itu panggilan romantis. Kamu berhasil ngerjain aku. Dan kerling matamu telah cukup mengisyaratkan pengakuan. Ah Dinda, aku suka jailmu .. Dindaku nan lucu, Dua tahun sudah kita tak bertemu. Kedatanganku ke kotamu dua tahun lalu meninggalkan kesan yang takkan pernah hilang. Kamu mungkin tak pernah tahu betapa paniknya aku kala itu. Saat aku saksikan kotamu luluh lantak karena gempa berkekuatan 8 SR. Tanggal 30 September 2009 kala itu.  Setengah panik ku hubungi kamu lewat telepon genggammu, tapi tak aktif. Aku tulis pesan di inbox facebookmu, pun tak ada balasan.  Kamu yang suka bersosialisasi di dunia nyata ataupun dunia maya lenyap bak ditelan bumi. Begitupun emailku. Aku tak tahu harus bertanya pada siapa lagi. Semua orang di kota itu tak meresponku. Pikiran mulai menerawang ke hal-hal yang tak baik. Mungkinkah kamu berada di reruntuhan bangunan itu ? Aku tak bisa tidur. Memikirkan apakah kamu dan keluargamu baik-baik saja. Oh Dinda, please lain kali jangan buat aku panik seperti itu lagi ya. Berjanjilah ... Dan Dinda, sebenarnya aku kecewa ketika kabar tentangmu justru aku dapatkan dari orang lain. Kenapa kamu tak mengabari aku dulu ? Keluhan ini tak sempat aku lontarkan ketika sebulan aku mengisi waktu denganmu. [caption id="attachment_129111" align="aligncenter" width="300" caption="kamu menghibur anak-anak korban gempa"][/caption] Kemudian, hari-hari kita disibukkan dengan kegiatan menyalurkan bantuan bagi korban gempa. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Kamu begitu bersemangat menghibur para korban, bermain dengan anak-anak sampai mengangkat barang-barang bantuan yang kita bawa. Hal itu yang membuatku takkan pernah bisa berhenti mengagumi. Kamu luar biasa, Dinda! Luar biasa! [caption id="attachment_129110" align="aligncenter" width="300" caption="aku membantu korban membersihkan puing"][/caption] Kamu pasti takkan pernah tahu ekspresiku ketika menerima telepon pertama kali darimu setelah kamu menghilang beberapa hari. Lima hari kalau tidak salah. Katamu jaringan memang terganggu dan Padang menjelma jadi kota mati. Ah, emailmu ke temanku masih saja menggangguku. Mengapa bukan aku orang pertama yang kamu ingat. Oh.. tunggu dulu, aku tidak sedang cemburu tapi mengapa ada perasaan "tak istimewa" hadir begitu saja di hatiku.  Lucu ya Dinda.. ternyata kakandamu bisa juga kolokan ha ha ha padahal kamu sering panggil aku "Raksasa". Mana boleh raksasa ngambek. Tapi ini adalah isi hatiku sesungguhnya. Ya sudahlah... keputusanku untuk langsung terbang ke kotamu adalah keputusan terbijak yang pernah ku buat dalam hidup. My strong Dinda, Kamu pasti masih ingat obrolan kita tentang cinta. Mengapa cinta tidak selamanya harus bersatu ? Bukan cinta yang salah, karena kita sama-sama percaya bahwa cinta itu datangnya dari Tuhan. Kita dibesarkan dengan keyakinan yang berbeda. Bahkan aku baru saja mengenal Tuhan justru dari kamu. Katamu, perasaan manusia dimanapun sama; akan bahagia ketika melihat orang saling berkasih sayang, akan marah ketika melihat kekejaman, akan sedih ketika melihat anak ditelantarkan orang tuanya. Itu semua karena Tuhan - yang menciptakan kita semua memberi kita sebuah "chip" yang dinamakan hati. Terkadang aku iri di saat kamu begitu khusyuk shalat. Aku bisa melihat cinta yang kuat di sana. Kamu mencintai Tuhanmu dengan kesungguhan hati. Tak pernah sekalipun ibadah shalat kamu terlewat kecuali di saat berhalangan. Sekalipun aku bisa mengakui Tuhan yang sama, aku takkan mungkin bisa membahagiakanmu. Aku tak ingin mengkhianati cintamu kepada Tuhan hanya karena aku ingin bersama denganmu. Aku ingin kamu tetap mencintai Tuhanmu sepenuh hati. Tuhan yang telah mengantarmu ke dalam kehidupanku. Tuhan yang telah membuatku mengerti bahwa cinta tulus tanpa pamrih itu ada. Cinta yang diantarnya melalui kamu, Dindaku. Bukan aku tak cinta, Dinda. sama sekali bukan. Cintamu kepada Tuhan membuatku ingin mencintaimu lebih dari sekedar hanya ingin menjadi pasangan hidup. Dengan saling membebaskan, kita bisa merasakan bahwa cinta itu indah dan tak membatasi kesenangan, tak membelenggu keikhlasan. Begitulah cintaku, Dinda. Selamanya aku ada untukmu ...  selama aku masih bisa bernafas. Jaga dirimu baik-baik ya ... Love, KK California, 14 Agustus 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun