Pertama berkenalan dengan Kompasiana tahun 2012. Saat itu, teman saya yang berkuliah di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang tahu kesenangan saya menulis menyarankan untuk menulis di Kompasiana.Â
Membuka akun Kompasiana, setelah itu pasif bertahun-tahun. Memang kebetulan waktu itu hanya untuk posting tugas kuliah. Semakin hari saya memperhatikan konten-konten platform Kompasiana kompeten, kredibel dan berkualitas. Segala rubrik tumpah ruah, bukan hanya sekedar opini tetapi ada sajian fakta dan data yang relevan.Â
Akun lama akhirnya terblokir karena copy paste tugas kuliah sesuai buku dan teori. Itulah kesalahan saya yang tidak secara detail membaca syarat dan ketentuan. Berangkat dari kesalahan dan kebodohan, akhirnya akun baru terlahir kembali.Â
Disini, saya menemukan bagaimana caranya menulis, membaca, dan beropini cerdas tanpa menghakimi. Tentunya dibimbing oleh tekan kompasianer senior seperti Mbak Siti Nazarotin, Acek Rudy Gunawan, Oma Roselina Tjiptadinata, Opa Tjiptadinata, mbak Hennie Triana Orbest, Mas Samhudi Bhai, Pak Hanif Sofyan, mbak Siska Artati, Bu Siska Dewi, Mbak Sri Rohmatiah Djalil, mbak Widz Stoop, Mbak Ari Budiyanti, Mas Indra, Pak Budi Susilo dan masih banyak kompasianer lainnya. Dengan dibantu oleh suhu Mursid Arifin menerjemahkan setiap peristiwa menjadi tulisan yang bermakna. Pastinya ada makna dibalik makna dan bisa dibagikan agar lebih berguna.Â
Kesukaan saya terhadap feature article, pertahanan dan psikologi sosial mengharuskan beberapa tulisan memiliki tendensi tersendiri. Hanya sedikit saja yang bisa saya tuliskan masih jauh sekali dibandingkan para senior lain. Apalagi dengan tulisan yang masih taraf belajar dan harus diperbaiki seiring berjalannya waktu. Dari segi kuantitas dan kualitas, saya juga menyadari masih banyak sekali kekurangan sana sini.
Beruntunglah ada 6 tulisan yang menjadi artikel utama, beberapa tulisan menjadi Trend, dan K-Reward. Lebih bersyukur lagi, dalam 1 hari ini ada 2 artikel yang menjadi Headline. Tentunya pencapaian itu tak seberapa dengan Kompasianer lain yang auto AU. Disinilah rasa berbangga diri harus dibunuh. Tanggung jawab terlahir, bagaimana setiap kata yang ditulis memang memenuhi standar kepantasan dan kelayakan untuk diri sendiri dan pembacanya.Â
Setelah penantian yang panjang, akhirnya berubah status dari Taruna menjadi Penjelajah. Ibarat ikan yang belajar berenang. Padahal ikan memang terlahir sudah bisa berenang. Sama seperti saya, terlahir dengan segala kekurangan dan berjalan apa adanya sesuai siklus yang sudah ditetapkan. Dibekali dengan segala kelebihan dan kekurangan, tetap belajar dan menerima perubahan baik didalam diri. Berenanglah agar tidak terbawa arus, berenanglah mengarungi palung kehidupan terdalam. Terima kasih ya Allah.. berkah kasihmu menyertaiku. Tuhan Maha Baik.Â
Bogor Barat, 8 Mei 2022Â