Suatu pagi di negeri yang dipenuhi pasir dan bebatuan kering. Angin berdesir membawa panas meski mentari baru menyingsing. Tenggorokan yang tak lepas dari rasa dahaga lupa untuk meneguk setitik oase yang dilihat semalam. Tak apalah, yang penting dicoba dengan niat yang sungguh-sungguh. Perjalanan dilanjutkan lagi dengan meninggalkan sebatang kayu kering.
Jejak kaki yang tersisa hilang tersapu imamah panjang berwarna hitam. Rasanya imamah ini cukup untuk sekedar mengeluarkan keringat dan ditenggak lagi sebagai pelepas dahaga.
Rasanya perjalanan haji ramadhan di tahun ini melelahkan. Meski jaraknya hanya 50 mil dari rumah, Zubaidah berniat menyempurnakan ramadhannya.
Setelah berjalan 25 mil, akhirnya Zubaidah dan 3 orang kerabatnya berhenti melihat bebatuan kering yang tak berdaya. Teriknya matahari semakin menguras cairan tubuh. Imamah hitamnya makin basah dan mengeluarkan hawa panas.
Keringatnya yang bercucuran serasa ingin menyerah. Tergopoh perjalanannya, berkali-kali tersungkur. Tak ada teduh yang didapat, hanya bebatuan dan pasir yang terbang ke hidung dan matanya.
Hampir tak ada beda antara keringat dan air mata di pipinya. Menggenang dan masuk kedalam mulutnya yang masih bertasbih. Entah sampai kapan Zubaidah melupakan lukanya yang masih terasa pedih.
Mengucur deras keringatnya. Â Sesekali matanya yang biru memandangi teriknya matahari. Punggung tangannya mengusap keringat didahi dan pipi.
"Bagaimana?" Ujar Abdul keponakannya.
"Lanjutkan saja, setelah haji selesai. Inilah yang harus aku laksanakan" ujarnya penuh keyakinan.
"Baiklah kalau itu maumu. Lalu berjalan kemana lagi, Kak?"