Menghadapi perubahan zaman edan seperti ini, falsafah Jawa ini sangat kuat untuk menghubungkan kembali interkorelasi manusia dan alam. Mengapa banyak tangan yang merusak? Mengapa alam murka?Â
Keseimbangan antara buwana agung (semesta raya) dan buwana alit (manusia) mulai terganggu oleh pemikiran dan indoktrinisasi pemahaman modern. Padahal, keteguhan falsafah ini sudah teruji sepanjang masa.
Urip Iku Urup
Secara harfiah, filosofi inii berarti hidup itu menyala/menghidupi. Ajaran luhur ini memberikan representasi untuk kehidupan manusia yang harus bermanfaat dan membawa berkah kepada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya.Â
Melakoni falsafah ini harus menjiwai dan tertanam didalam hati. Salah satunya dengan cara berbagi dalam bentuk apapun yang dapat memupuk rasa empati, persatuan dan menghargai orang lain.
Alon-Alon Waton Kelakon
Jika dimaknai secara bahasa berarti pelan-pelan asalkan terlaksana atau selamat. Benang merah dari filosofi ini sebenarnya bukan itu. Alon-alon waton kelakon menandakan konsistensi yang dilakukan secara terus menerus tanpa putus meski ada halangan dan rintangan yang menghadang akan membuahkan hasil yang baik.Â
Upaya yang berkesinambungan akan mewujudkan hal yang dianggap tidak mungkin menjadi mungkin. Intinya, dalam sesulit apapun keadaannya, lakukan saja! Jika cara A gagal, harus pindah ke cara B dan selanjutnya, itulah konsitensi dan kesinambungan.Â
Nerimo ing Pandhum
Filosofi ini maknanya adalah menerima dengan keutuhan jiwa dan raga atas segala pemberian dari kehidupan. Dalam psikologis, ada tiga konstruk yang dibangun yaitu penerimaan, kesabaran dan rasa syukur.Â
Falsafah ini sangat bermanfaat disegala zaman, apalagi menghadapi pandemi seperti ini, rasa syukur adalah bagian terpenting didalam memelihara kesehatan mental.
Sepi ing Pamrih, Rame Ing Gawe
Makna mendasar filosofi ini merupakan ketulusan dalam berbuat sepenuh hati dan tidak mengharapkan imbalan apapun. Kalimat tersebut bagaikan ujian bagi kehidupan manusia.Â
Apalagi gencarnya dekandansi moral yang terjadi, nilai-nilai luhur yang tertanam selama ini semakin memudar. Hal yang banyak terjadi adalah sepi ing gawe, rame ing pamrih. Jadi dibalik pemaknaannya.
Trima mawi Pasrah, Suwung pamrih, Tebih ajrih; Langgeng tan ana susah, Tan ana seneng ; Anteng mantheng, sugeng jeneng"
Artinya, menerima dengan tawakal, tiada pamrih, jauh dari takut; abadi tiada duka, tiada suka; tenang memusat, selamat. Sebagai manusia yang dibekali dengan segala bentuk kesempurnaan akal, pikir, nurani.Â