PENGANTAR
Kendati Manusia, melalui inspirasi ilmiah atau insting alami, dapat menemukan akar kebaikan dan keburukan, dan melalui petunjuk alam dapat membedakan antara hal yang disukai dan dibenci, itu tidak berarti bahwa manusia dapat memahami sendiri semua problem yang menimpa mereka di bidang akhlak tanpa seorang guru, sehingga mereka dapat dengan mudah membedakan segala kkebajikan dari segala kejahatan dan menjawab semua persoalan dalam masalah ini.Â
Hal ini dikarenakan pengetahuan akhlak sedemikian sulit dan rumit sehingga walau adda kajian-kajian yang mendalam oleh para filsuf besar sepanjang zaman, beberapa bagian problem tersebut tetap tidak terpecahkan hingga dewasa ini dan belum menjadi jelas benar sebagai mana mestinya, dan para ulama tidak dapat memberikan jawaban yang pasti atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan akhlak. Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk memahami realitas-realitas dan kerumitan-kerumitannya dari Al-Qur'an dan sabda-sabda Ahlulbait.[1]
Kita harus memahami bahwa menurut aliran pemikiran Nabi Muhammad saw., manusia adalah makhluk yang mempunyai dua dimensi, artinya, fitrah manusia mempunyai baik dimensi positif maupun negative. Manusia dapat melintas ke atas maupun menurun. Menurut tabiatnya, dia mempunyai kecenderungan pada yang baik maupun yang uruk. Manusia mempunyai baik kecerdasan maupun jiwa (nafs), kecerdasan membimbingnya pada kebaikan dan keagungan dan dia pun mempunyai jiwa yang penuh nafsu, yang mendorongnya menuju keburukan dan kerendahan.Â
Hati manusia mempunyai baikkekuatan yang konstruktif maupun kekuatan yang destruktif. Al-Qur'an menunjukkan keduanya pada beragam ayat dan menyatakan : "Aku bersumpah dengan hari kiamat dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (QS. Al-Qiyamah 75 : 1-2). Mengenai yang kedua ia menyatakan : "Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku." (QS. Yusuf 12 : 53)
Manusia mempunyai kecenderungan kepada Tuhan lantaran dimensi positifnya, al-Qur'an menyatakan dengan latar belakang yang sama : "...(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia manurut fitrah itu." (QS. 30 : 30).
Manusia memupunyai kekuatan untuk berjalan menuju kebaikan dan menjadi makkhlkuk yang mulia. Dia mempunyai kepasitas untuk mengangkat dirinya pada keadaan al nafs al muthma'innah (jiwa yang tenang). Betapa indahnya firman Allah : "Hai jiwwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puaas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku." (QS. Al-Fajr 89 : 27-30).
Dalam dimensi negative, fitrah manusia telah dikenal bersifat kikir, rakus, suka bertengkar, tergesa-gesa, dan kufur. Oleh karena itu, kita menemukan subjek-subjek berikut ini dalam Al-Qur'an:
"dan adalah manusia itu sangat kikir."[2]
Â
"manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa."[3]