Saya terhenyak dan tak pernah habis pikir akibat seringnya menyaksikan berita terjadi bentrok antar satuan TNI dari berbagai matra bahkan satuan TNI satu matra atau polisi dengan polisi. Seperti kejadian terakhir seorang anggota TNI AD ditembak mati oleh seorang oknum anggota polisi di arena Sirkuit polewali Mandar Sulawesi. Di media para pengamat militer dan anggota DPR selalu berdalih bahwa penyebab kejadian akibat terjadi kecemburuan sosial ekonomi oleh TNI terhadap Polri. Meskipun pendapat ini sangat kekanak-kanakan bahkan konyol. Mengapa? Karena si pengamat hanya melihatnya dari faktor eksternal antar satuan. Mereka hanyalah orang-orang yang mengidap penyakit rabun dekat. Mereka tidak pernah melakukan observasi secara internal di lingkungan TNI dan Polri.
Sekarang mari kita lihat, seandainya TNI cemburu terhadap polisi. Polisi di bagian satuan apa yang paling dicemburui? Kalau kita bilang dan menggenarilisir bahwa semua polisi adalah makmur, apakah ini pantas? Bagaimana dengan sebagian prajurit TNI yang berdinas di bagian nyaman dan empuk? Meskipun itu hanyalah prajurit tataran bawah!
Dari pengamatan saya, banyak para prajurit TNI tataran bawah menikmati kenyamanan dan pendapatan di luar gaji hanya dengan menempati pos-pos tertentu di satuan. Sementara rekan-rekan mereka masih banyak yang hidup standar dengan kemampuan ekonomi ukuran TNI. Ironisnya untuk prajurit tataran bawah jarang ada mutasi besar-besaran dari tempat empuk ke tempat standar begitupun sebaliknya. Ada memang mutasi Bintara Tamtama secara besar tapi biasanya terjadi karena permintaan yang bersangkutan atau karena mutasi itu karena kebutuhan satuan akan tenaga baru selepas dibina dari Pusdik-pusdik. Rotasi tugas untuk Bintara Tamtama sebenarnya sangat diperlukan karena untuk profesionalisme juga untuk penyegaran organisasi. Disamping alih Knowledge. Beberapa batalyon memberlakukan kalau prajurit mencapai umur tertentu akan digeser ke bagian staf. Akan tetapi untuk prajurit staf banyak juga bertahun-tahun dinas di seputar area hingga usia pensiun.
Seperti kita ketahui kebutuhan dan keinginan setiap manusia selalu meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Disini yang kita garisbawahi, bahwa kebutuhan akan aktualisasi diri muncul bersamaan dengan pengaruh faktor-faktor eksternal. Kita lihat sekarang prajurit-prajurit muda saat ini bukanlah seperti prajurit muda di era Orde Baru yang selalu di doktrin bahwa prajurit adalah prasojo, jujur dan irit. Saat ini doktrin seperti itu masih bisa digunakan, akan tetapi bagaimana relevansinya.? Pengaruh-pengaruh akan keinginan aktualisasi diri dan keinginan tambahan lain meningkat di era ekonomi pasar bebas yang semakin ganas dalam memasarkan produk berupa barang atau jasa dengan serbuan iklan di berbagai media. Bagaimana kita dapat membendung citra merk yang telah dipropagandakan berulang-ulang oleh suatu pemasar? Seorang prajurit bisa saja tergoda. Akhirnya banyaklah yang berbisnis atau kerja tambahan di luar dinas. Diakui jujur hal ini akan menghambat profesionalisme seorang prajurit. Apa jadinya kalau prajurit yang ditugaskan di daerah konflik masih memikirkan bisnis rumahnya di seberang lautan?
Bentrok prajurit tataran bawah memang kebanyakan berakar dari masalah sepele, mulai dari senggolan atau pandang-pandangan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa itu hanyalah akumulasi dari kondisi psikologis prajurit yang terbawa dari satuan. Bisa jadi ini hanyalah pelampiasan.
Seperti judul diatas, selama ini bawahan disuruh untuk loyalitas vertikal ke atas, bagaimana kalau pimpinan juga loyalitas vertikal ke bawah? Adakah yang salah? Mungkin inilah yang harus selalu kita kritisi. Para prajurit tataran bawah di era sekarang setiap pangkat memiliki selisih gaji yang lumayan. Setiap strata Tamtama dengan Bintara tentu selisihnya cukup besar. Apalagi dibanding dengan strata perwira yang memiliki jabatan managerial, tentunya sangat signifikan.
Mari kita tengok ke belakang, bukankah di era presiden Abdurrahman Wahid telah menentukan gaji dan dan tunjangan jabatan di instansi militer mengalami kenaikan yang fantastis. Tetapi saat itu konskwensinya adalah wacana menurunkan pangkat setiap jabatan yang dirasa terlalu tinggi. Bahkan ada jabatan petinggi militer yang dipegang oleh seorang Jenderal berbintang tiga seharusnya cukup dijabat oleh seorang Kolonel. Wacana penyesuaian pangkat ini tak pernah terealisasi hingga beliau lengser. Yang terealisasi hanyalah besaran gaji dan tunjangan jabatan meski mengalami revisi penurunan.
Lantas apa hubungannya dengan selisih pendapatan yang cukup besar dengan loyalitas vertikal?
Alasannya pada saat seseorang mengalami kemakmuran berupa bertambahnya pendapatan maka keinginan aktualisasi bertambah. Pemenuhan akan keinginan berupa kebutuhan tambahan ikut meningkat. Disini ujian bagi seorang pemimpin agar selalu berada di tengah-tengah anak buahnya , turut membantu meningkatkan moril dan integritas. Karena sosok pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas sangat diperlukan sebagai figur panutan. Di era orde baru besarnya selisih pendapatan antara Perwira, Bintara dan Tamtama tidak sebesar prosentase sekarang. Tentunya bukan berarti kita ingin kembali ke masa orde baru. Tetapi besarnya selisih pendapatan tiap strata menciptakan kesenjangan sosial tersendiri. Disinilah beberapa bawahan yang kurang memahami akan mengalami degradasi moral. Bisa juga menjadikan kedisiplinan menurun. Dalam hal ini pengawasan terhadap personel mutlak diperlukan. Fungsi intelijen dan provost untuk pengamanan personel mungkin lebih tepat.
Perlu seorang pemimpin memiliki hubungan emosional dengan bawahan yang terdiri dari berbagai background darimana berasal. Pimpinan atau atasan adalah sebagai kakak atau bapak bahkan guru bagi bawahan. Sudah semestinya jikalau ada bawahan memiliki permasalahan yang sudah tidak dapat terselesaikan secara sendirian, menghadap ke pimpinan untuk mendapat arahan. Tentunya ini jauh dari kategori tentara cengeng. Keterbukaan komunikasi sangat diperlukan.
Dalam beberapa kasus banyak bawahan yang main kucing-kucingan dengan atasan hingga bertindak boleh dikatakan sembrono. Jika bentrokan telah terjadi selalu pimpinan yang dicibir oleh orang luar bahwa tidak bisa menjadi controller anak buah.