TNI adalah pengayom dan pelindung rakyat, TNI adalah stabilisator dan dinamisator bagi lingkungan sekelilingnya dan masih banyak slogan-slogan atau jargon untuk TNI di masa Orde Baru. Diakui atau tidak, di masa Orde Baru TNI adalah mesin politik pemerintah dengan kendaraan salah satu partai politik di masa itu. Upaya-upaya untuk mengkultuskan TNI tidak hanya berhenti sampai disitu, masih banyak kegiatan kemasyarakatan ataupun kenegaraan yang melibatkan institusi ini selain dalam bidang ipoleksosbudhankam. Tanpa merindukan jaman Orde Baru dan tanpa memuji pendirinya, dapat kita saksikan kondisi Indonesia boleh dikatakan tenteram walau kenyataannya seperti api dalam sekam dengan rongrongan lawan-lawan politik pemerintah di dalam dan luar negeri. Begitu ada geliat gerakan yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan dalam negeri, TNI bersama Polri =ABRI dengan operasi intelijen yang handal dengan cepat dapat mencegah serta menangkal kegiatan tersebut, terlebih dengan legitimasi undang-undang subversif. Apakah TNI di jaman sekarang masih handal? Jika ada pertanyaan seperti itu dengan tegas saya menjawab “ya!”. Kita sangat membutuhkan kehadiran TNI. TNI yang kuat dan besar sebagai benteng pertahanan negara. Hanya saja di era reformasi seperti ini, kadang saya miris begitu melihat berita di Televisi atau membaca di media cetak tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh oknum TNI baik secara individu atau kolektif. Dan (maaf) kebanyakan pelakunya adalah prajurit tataran bawah. Bukankah di jaman Orde Baru bahkan Orde lama juga banyak pelanggaran oleh oknum TNI? Betul, tapi mari kita tengok mayoritas penyebabnya. Jika di Orde Lama banyak perseteruan TNI antar angkatan atau dengan Polri yang penyebabnya biasanya adalah loyalitas korps dan solidaritas. Saat itu TNI mencari eksistensinya di tengah-tengah dikotomi supremasi pemerintahan antara sipil dan militer. Di masa orde baru pertikaian juga masih terjadi antar angkatan dan polri dan dari kasus ini penyebabnya sudah mengarah kepada kepentingan ekonomi berupa jasa pengamanan bisnis swasta atau perusahaan milik pemerintah. Yang juga telah ada yaitu pelanggaran-pelanggaran oleh oknum TNI berupa perbuatan kriminal karena faktor ekonomi. Sekarang di masa reformasi, pertikaian antar angkatan secara kolektif tidak pernah ada, malah pertikaian dengan polisi semakin sering terjadi. Penyebabnya juga kompleks yaitu satu sama lain merasa superior dan juga faktor kecemburuan ekonomi. Pakar-pakar hukum dan pengamat sepakat bahwa penyebabnya dua hal tersebut. Penulis masih ingat saat masih duduk di bangku kuliah akhir ketika reformasi bergulir, saat itu jaringan mahasiswa se Indonesia Raya dengan antusias menyerukan agar Polri dipisahkan dari ABRI (TNI) dan menjadikan polisi sipil alias tidak ada unsur militeristik di dalamnya. Harapan mereka tidak ada lagi pangkat Jenderal atau pangkat menyerupai tentara dalam institusi ini. Tapi toh sampai sekarang polisi masih berkarakter ala tentara dan masih belum bisa menjadi sipil murni.
Sementara itu pelanggaran-pelanggaran oknum tentara secara individual yang bersifat kriminal juga meningkat seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan hingga yang paling remeh adalah kasus pelecehan seksual. Setelah kita cermati adalah karena jaman yang terus berubah, dimana persinggungan tentara dengan masyarakat sipil semakin dekat. TNI tidak mungkin di isolir dengan menjauhkan mereka dari wilayah sipil, kalaupun harus kembali ke barak seperti tuntutan mahasiswa reformasi, apakah dapat dijamin TNI tidak terkontaminasi oleh lingkungan yang global serta instan?
Apa yang harus dibenahi? “Kembali ke barak” sudah diimplementasikan oleh TNI dengan meninggalkan dwifungsinya. Pernah ada wacana agar memindahkan satuan-satuan TNI yang sudah terlalu dekat dengan komunitas sipil, agar TNI benar-benar memiliki jati diri yang berbeda dengan warga sipil. Tapi toh kendala anggaran perlu dipikirkan.
Sebenarnya seperti dimasa kapanpun kalau kita mencermati jati diri TNI yang profesional dan kita ingin TNI itu bersih, gagah sebagai pelindung rakyat dan alat pertahanan negara, mereka sudah punya rule of law tersendiri. Coba kita tengok Sapta Marga yang dalam sejarahnya digagas oleh Kolonel Bambang Supeno dan Profesor Purba Tjaraka serta Sumpah Prajurit yang lebih mewakili jiwa prajurit dibanding aslinya Sumpah Prajurit Kolonial dan masih ada lagi Sumpah Perwira yang begitu luhur.
Masihkah ada pelanggaran? Tentara adalah manusia yang juga memiliki hasrat yang sama dengan yang lain, apalagi di era globalisasi ekonomi seperti ini yang berakibat tingkat keinginan meningkat dibanding dengan tingkat kebutuhan. Katakanlah seorang Kopral di jaman dulu memiliki gaji utuh dengan berangkat dan pulang dinas menumpang kendaraan dinas sudah bangga dengan tingkat kebutuhan menyekolahkan dan memberi makan anak sudah cukup, sedangkan kopral di jaman sekarang memiliki tingkat keinginan memiliki mobil, memiliki istri cantik, mendiami rumah megah. Sementara gaji telah dipatok dengan asumsi biaya kebutuhan pokok hidup rata-rata perhari. Akibatnya beberapa tergoda melakukan perbuatan kriminal dan beberapa melakukan perbuatan kurang terpuji semisal berbisnis di sela-sela dinas atau mencari peluang-peluang usaha ekonomi yang lain. Kalau hal ini berlarut dampaknya adalah profesionalisme yang menurun. Padahal kita masih butuh tentara yang tanggap, tanggon dan trengginas. TNI yang disegani, mungkinbisa diwujudkan kalau undang-undang larangan anggota TNI berbisnis dievaluasi dan dimplementasikan kembali. Rakyat masih membutuhkan TNI demi pertahanan NKRI yang kuat karena satu-satunya unsur kekuatan negara yang tidak akan goyah adalah TNI. Dirgahayu TNI, kami bangga padamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H