[caption id="attachment_301723" align="aligncenter" width="300" caption="Pemungutan Suara. (sumber gambar: justnurman.wordpress.com)"][/caption]
Kurang dari seminggu lagi, tepatnya 9 April nanti, tiba saatnya kita berpartisipasi langsung dalam hajatan demokrasi pemilihan umum. Dalam praktiknya, pelaksanaan pemilu baik pileg maupun pilpres melewati tahapan-tahapan yang cukup panjang, sejak persiapan, pencoblosan, hingga penghitungan suara dan rekapitulasinya. Di setiap tahapan inilah kecurangan pemilu selalu mungkin untuk terjadi. Siapa yang curang? Hampir selalu adalah pihak-pihak berkepentingan yang memiliki akses untuk “bersekongkol” dengan penyelenggara pemilu, yakni KPU dan petugas-petugas yang berada di bawahnya.
Marilah sejenak, agar tak jadi main tuduh, kita kesampingkan dulu pertanyaan tentang siapa yang mungkin melakukan kecurangan. Yang penting bagi kita sekarang, saya pikir, adalah mengantisipasi kemungkinan terjadinya kecurangan-kecurangan. Oleh karena itu, ada baiknya kita mengenali modus-modus kecurangan yang biasa terjadi, antara lain:
1. “Serangan fajar”, yang merupakan modus klasik dalam pesta demokrasi di Indonesia. Modus ini biasanya dilakukan dengan membagi-bagikan uang atau barang kepada para pemilih menjelang dibukanya TPS-TPS di hari H. Tujuannya, agar pemilih yang sudah “disogok” itu mau memberikan suaranya untuk caleg atau partai tertentu.
2. Memanfaatkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang bermasalah. Kecurangan biasanya dilakukan dengan menggelembungkan (mark up) jumlah pemilih yang tercantum dalam DPT sehingga muncul pemilih-pemilih fiktif yang suaranya ikut dihitung.
3. Memanipulasi logistik pemilu. Manipulasi ini dapat mengakibatkan munculnya beragam masalah terkait logistik pemilu dan distribusinya, seperti gudang yang tak siap, pengiriman yang berlebih, atau bahkan pengiriman yang kurang.
4. Mencurangi proses rekapitulasi di tingkat kecamatan dan kabupaten. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kurangnya pengawasan dalam proses rekapitulasi tersebut, di samping hal teknis lain seperti lemahnya penjagaan kotak suara.
Selain itu, kecurangan ini juga sangat mungkin terjadi karena rendahnya transparansi dalam penyediaan surat suara dan formulir penghitungan suara (C1). Perusahaan pencetak logistik tentunya mencetak dengan jumlah yang dilebihkan. Namun sayangnya, kelebihan jumlah ini amat jarang dilaporkan kepada publik secara transparan.
5. Jual beli suara yang biasanya melibatkan “makelar”, dan dilakukan dengan beragam cara, di antaranya (a) pelaku atau makelar membeli surat undangan pemilih yang datang ke TPS; (b) pelaku mencoba menggiring pemilih ke TPS tertentu yang telah dikondisikan untuk memenangkan caleg atau partai tertentu; (c) adanya kongkalikong antara makelar atau caleg dengan petugas PPS, KPPS, atau PPK.
Nah, modus-modus di atas hanyalah sebagian dari berbagai bentuk kecurangan pemilu yang mungkin terjadi. Namun setidaknya, dengan memiliki wawasan tentang pemilu dan kecurangan-kecurangannya, kita dapat lebih waspada dalam mengawal jalannya pesta demokrasi tersebut.
Meski kita memiliki Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), namun tanpa sikap proaktif dari masyarakat pengawasan terhadap hajatan demokrasi tersebut tak mungkin berjalan efektif. Upaya untuk mengawal jalannya pemilu agar “bersih” dan “lancar”, kalaupun bukan tanggung jawab kita, tapi adalah kebutuhan kita semua. Mengapa saya katakan kebutuhan? Karena pemilu yang dilaksanakan secara baik, selain mencerminkan kedewasaan berpolitik kita, juga akan menjadi prosedur yang “sehat” bagi suksesi kepemimpinan di tanah air.
Rujukan:
·“Ini Modus-Modus Makelar Jual Beli Suara dalam Pemilu,” http://www.merdeka.com/politik/ini-modus-modus-makelar-jual-beli-suara-dalam-pemilu.html
·“Waspadai Potensi Kecurangan Pemilu,” http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/284/Waspadai-Potensi-Kecurangan-Pemilu/2014/04/01
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H