Perkembangan teknologi telah mereformasi segala aktifitas masyarakat khususnya dalam bertransaksi atau melakukan pembayaran.
Jika dahulu dalam bertransaksi atau melakukan pembayaran dilakukan dengan bertatap muka. Diera modrenisasi saat ini dalam bertransaksi ataupun melakukan pembayaran dapat dilakukan secara elektronik. Misalnya melalui aplikasi Qris; Dana; dan aplikasi lainnya.Â
Dalam hal perkembangan teknologi, Indonesia telah memiliki landasan hukum atau payung hukum dalam mengantisipasi dalam bertransaksi secara elektronik yaitu melalui Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Akhir-akhir ini dihebohkan berita penggantian aplikasi pembayaran Qris salah satu rumah ibadah menjadi Qris milik pribadi yang seolah-olah akun tersebut adalah milik rumah ibadah.
Sebagaimana kita ketahui aplikasi Qris adalah suatu aplikasi pembayaran dalam transaksi elektronik.
Seseorang yang mengganti barcode Qris seseorang menjadi barcode Qris milik pribadi dapat dikategorikan suatu tindak pidana penipuan dimana unsurnya adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menggunakan tipu muslihat dengan ancamn pidana penjara paling lama 4 tahun (vide pasal 378 KUHPidana).
Yang lebih ironisnya selain daripada ketentuan tersebut oleh karena sistem pembayaran ini dilakukan secara eletronik atau lebih dikenal dengan transaksi elektronik  terhadap pelaku kejahatan penipuan secara elektronik juga dapat dijerat berdasarkan ketentuan Pasal (28) ayat (1) Jo. Pasal (45) ayat (2) Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H