Prolog
3 Maret 2011, puluhan jurnalis dari Solidaritas Wartawan Anti Kekerasan melakukan aksi demonstrasi ke Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Mereka menumpahkan kekecewaan terhadap 2 institusi penegak hukum tersebut dilandasi oleh kasus pembunuhan Ridwan Salamun, seorang wartawan SUN TV yang tewas dalam bentrok warga di Tual, Maluku. Substansi permasalahan adalah penuntutan jaksa terhadap pelaku hanya 8 bulan kurungan. Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta, Wahyu Dhyatmika, di dalam pernyataan pers mengatakan bahwa AJI Jakarta menyesalkan ucapan dari Jaksa Agung Basrief Arief yang menyatakan bahwa tuntutan tersebut merupakan hal yang wajar. Saya mencoba menelusuri apakah benar Jaksa Agung menyatakan demikian. Dari penelusuran tersebut, kesimpulan saya sementara adalah pernyataan tersebut benar. Sebagai bantuan anda, saya menyediakan link berita di bawah ini :
http://nasional.vivanews.com/news/read/207328-tewasnya-wartawan-sun-tv-versi-kejaksaan
http://nasional.vivanews.com/news/read/206568--sidang-pembunuhan-wartawan-sun-tv-janggal-
http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=19913
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/03/03/207533/16/1/AJI-Unjuk-Rasa-Kejaksaan-Agung
Jika diperhatikan dari berita-berita tersebut, ada keanehan memang. Keanehan yang saya maksud adalah argumentasi Jaksa Agung membenarkan tuntutan anak buahnya dengan dalil bahwa “Ridwan tidak dalam keadaan bertugas sebagai wartawan”. Argumentasi ini LUCU dan MENYEDIHKAN. Mengapa ? Dakwaan Jaksa Penuntut Umum KEJARI Tual Maluku berdasarkan Pasal 170 ayat (2) dan (3) subsideir Pasal 351 ayat (3) Jo Pasal 55 KUHP. Tuntutan maksimalnya adalah 12 Tahun.
Pasal 170 ayat (2) dalam butir 3 menyatakan “dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut”. Sedangkan Pasal lainnya memberikan tuntutan penjara maksimal 7 tahun. Penting untuk diingat bahwa Kita Sedang Membicarakan Nyawa Manusia.
Apakah tuntutan Jaksa dapat disalahkan secara normatif ? Saya yakin tidak. Mengapa ? argumentasi sederhana, karena dalam pasal tersebut, sanksi yang diberikan memuat kata-kata “maksimal”. Artinya, jika tuntutanjaksa atau putusan hakim dibawah maksimal, tetap diperbolehkan. Lalu dimana letak masalahnya ? bagian berikut akan mengupas lebih lanjut.
Hukum Sebagai Ide
Saya mencoba melihat perspektif masalah ini dari tinjauan Sejarah Hukum. Sebab kita harus memahami terlebih dahulu mengapa hukum itu ada, apa tujuannya. Jika hukum dipandang berguna, kepada siapa ia berpihak ? Menurut ahli sejarah hukum, Prof. Dr. Jhon Gilissen dan Prof. Dr. Frits Gorle (Sejarah Hukum - Suatu Pengantar, hlm. 11 – 33), awalnya, hukum timbul dari “kebiasaan manusia”. Inilah sumber hukum primer.Kebiasaan disimpulkan sebagai “perbuatan maupun penahanan diri berbuat sesuatu secara teratur oleh individu atau sekelompok manusia”. Kebiasaan ini juga harus mendapat pengakuan dari penguasa umum. Kemudian kebiasaan tersebut menjadi norma yang dalam perkembangannya dijelaskan oleh ahli filsafat hukum Inggris, Hart, sebagai “aturan-aturan sekunder”. Aturan sekunder yang dimaksud tidak lain merupakan norma yang menimbulkan kewajiban-kewajiban dan akibat dari tindakan-tindakan tertentu bagi suatu masyarakat tertentu.
Ide hukum sebenarnya sangatlah sederhana. Hukum diciptakan bertujuan untuk memberikan Keadilan, Keseimbangan dan Kepastian Hukum. Sintesa yang bermuara dari perkembangan manusia primitif menjadi modern.
Tuntutan “Menyedihkan” Dari Jaksa
Saya bilang menyedihkan, itu benar. Saya tidak bilang bahwa tuntutan tersebut salah. Menyedihkan ketika saya merasa tuntutan tersebut tidak mencerminkan apa yang menjadi keadilan, kepastian meskipun dalam segi kepastian hukum sudah terpenuhi. Ingin saya menanyakan kepada anda dan jaksa di seluruh Indonesia, apakah anda akan melakukan tuntutan yang sama ketika itu menimpa keluarga anda ? Pertanyaan yang mungkin dirasa emosional. Tapi tidak, sebab seperti di awal pembicaraan bahwa kita sedang membicarakan nyawa manusia. Lebih jauh lagi kita membicarakan keluarga korban dan efek jera pelaku.
Logika apa yang dipakai Jaksa dan Jaksa Agung sehingga timbul persepsi bahwa tuntutan sedemikian adalah wajar ? Pun jika korban bukan wartawan, korban adalah manusia. Di dalam dakwaan, tidak dinyatakan apakah korban berprofesi sebagai wartawan atau bukan. Dari kasus ini, tepat memang jika begawan hukum progresif Indonesia, (Alm) Prof. Satjipto Rahardjo mengemukakan jika menegakkan hukum di Indonesia bagai menegakkan benang yang basah. Artinya, ia butuh usaha yang keras.
Epilog
Kasus Ridwan Salamun semakin membuktikan bahwa aparat penegak hukum belum serius menegakkan hukum. Kita tidak usah membicarakan kasus-kasus yang lalu seperti Century, Munir, Marsinah, Edy Tansil, Gayus, Lapindo, dll. Seharusnya aparat lebih peka terhadap kasus-kasus yang menimpa wartawan. Mengapa ? sebab profesi sebagai pewarta sangat dibutuhkan dalam menciptakan keseimbangan dan pengendalian terhadap munculnya kembali diktatorianisme. Tentu kita tidak menginginkan adanya prilaku penguasa yang diktator yang tercermin dari lembaga-lembaga pembentuk negara. Ingatlah bahwa ketidakjelasan dan semangat diktator dapat menyebabkan terjadinya Revolusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H