Mohon tunggu...
Jimmy Zeheskiel
Jimmy Zeheskiel Mohon Tunggu... -

Biasa..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Celoteh Perokok...

21 Januari 2011   02:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1295575891108628732

Ya, Saya Merokok Rokok, tembakau dan kebijakan publik. 3 kata kunci yang seingatku selama 2 dekade ini terus menjadi polemik. Sebenarnya aku juga malas membahasnya, sebab aku berpikir merokok adalah pilihan bebas setiap orang yang mesti dilakukan secara bertanggung jawab, tembakau merupakan salah satu tanaman produksi unggulan Indonesia dan juga menjadi “barang” rebutan berbagai pihak, dan kebijakan publik sangat diperlukan agar dihasilkan keteraturan dan kemanfaatan bagi semua pemegang kepentingan. RPP Tembakau (saat ini tengah dibicarakan draft RUU tentang Pengendalian Dampak Produk tembakau Terhadap Kesehatan) yang berlandaskan semangat MDG’s (Milenium Deveploment Goal’s), salah satunya bidang kesehatan dan pengentasan kemiskinan, dirasakan banyak pihak merupakan “aturan” bersifat arogan. Lalu apa masalahnya ? Pikiranku lagi-lagi mencoba mengingat kejadian-kejadian “teguran” banyak pihak atas kelakuanku yang perokok. Ya, aku seorang perokok dan belum pernah rasanya aku merokok di tempat-tempat kategori kawasan dilarang merokok, terlebih jika disitu ada stiker atau tulisan “dilarang merokok”, “no smoking”, “terima kasih anda tidak merokok” dll. Aku juga sering disisihkan (walaupun aku setuju) dikeluarga jika ada berdekatan dengan anak-anak kecil, terlebih untuk “berbicara” dengan bayi (ponakanku tersayang) yang baru lahir. Nasibku.. Namun, aku menjadi kesal ketika ada teguran dari teman yang menghampiriku kemudian ia berkata “kesana dong merokoknya..!”. Loh, kan dia yang datang ke aku di daerah dimana orang bebas merokok? Dan aku cuma bisa bergumam. Apakah ini potret perokok yang “katanya” sering dianalogikan sebagai “penjahat, setan, penyakit bahakan sampah masyarakat”. Sering aku berpikir, apakah golongan orang anti rokok ini memahami pilihan untuk “anti-rokok” ataukah hanya ikut-ikutan trend ? Ya, trend. Siapapun yang mau “tampil” melawan rokok akan diganjar dengan fasilitas dan donasi dalam jumlah “lumayan”, meskipun sah-sah saja, kan tidak korupsi ! Muncul lagi pertanyaan yaitu apakah golongan anti rokok sebetulnya mengerti bahwa merokok membutuhkan etika, bukan sikap permusuhan, sebab bagaimanapun juga, industri rokok juga menyumbang peran besar atas kemajuan suatu bangsa, di sisi lain menimbulkan permasalahan sosial juga. “Jadi harus bagaimana nih” aku bertanya, lagi-lagi pada diri sendiri. “namanya pembangunan, ya pasti ada 2 sisi, jelek dan bagus..”, walah, makin runyam. Sebentar kawan-kawan, aku hidupkan lagi rokok-ku, kemudian aku hisap dan hembuskan secara teratur (sayangnya, kopi abis...). Ok, mari kita lihat permasalahan ini dari 2 perspektif, yaitu data/fakta pendukung dan aturan. Mengapa ? Sebab dua sedut pandang ini yang menjadi dasar argumentasi perdebatan pro dan anti-rokok. Kelahiran Budaya Merokok Masing-masing pihak (pro dan anti-rokok) berlandaskan pada hasil-hasil penelitian sebagai basis argumentasi justifikasi mempengaruhi kebijakan publik yang telah dan akan dibuat menyangkut rokok dan tembakau. Anehnya (baca “lucu”), hasil-hasil penelitian tersebut tidak ada yang betul-betul dianggap “salah”, semuanya “benar”. Intinya, rokok dapat mendorong (berperan sebagai stimulus) berbagai penyakit timbul, namun juga dapat bermanfaat bagi pengendalian stress. Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa (lihat wikipedia.org). Kemudian tembakau, tembakau adalah produk pertanian yang diproses dari daun tanaman dari genus Nicotiana. Tembakau dapat dikonsumsi, digunakan sebagai pestisida, dan dalam bentuk nikotin tartrat dapat digunakan sebagai obat. Hasil bumi ini menjadi “primadona” di seluruh belahan dunia, meskipun dengan pembatasan-pembatasan (pengendalian) tertentu, ternyata mampu memberikan dampak positif bagi keuangan suatu negara dalam bentuk pajak dan menghidupi kebutuhan petani yang menanamnya, meskipun dalam beberapa kasus terjadi kegagalan. Pabrik rokok juga mampu menyerap tenaga kerja lumayan besar, misalnya Sampoerna dengan 29 ribu pekerja, Gudang Garam dengan 38 ribu pegawai tetap (lihat laporan BBC Indonesia – Dewi Safitri). Aturan : ambiguitas ataukah ironi ? Melihat draft RUU Pengendalian Dampak Produk tembakau Terhadap Kesehatan, terutama pasal 4 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas udara bersih dan menikmati udara yang bebas dari asap rokok” membuat saya tersenyum dan juga sedih. Tersenyum sebab yang membuat draft ini secara arogan menafsirkan Pasal 28 UUD RI Tahun 1945 hanya melihat kepentingan warga negara yang tidak merokok, padahal konsep “warga negara” di Pasal 28 adalah “KITA SEMUA”. Hal inilah kemudian membuat saya menjadi sedih lantaran warga negara perokok dijadikan “tersangka” pencemaran udara secara umum, padahal kita sekarang tengah berjuang melawan penurunan emisi yang diakibatkan oleh asap pabrik, asap kendaraan bermotor dan ulah koruptif pejabat negara dalam pengelolaan SDA. Pertanyaan mendasar adalah, apakah dengan bebas asap rokok maka kesehatan seseorang akan lebih terjamin (baca : lebih sehat ) ?? Anda yang menilai. Hal yang aneh (baca: lagi-lagi lucu) juga menyangkut pengaturan pelarangan menjual rokok batangan (ketengan) oleh pedagang kecil dengan menerapkan sanksi pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda Rp. 100.000.000. Walahhh, mau hidup kok susah di negeri ini..!? Semoga tidak benar kata temanku, dia bilang “di Indonesia, orang miskin dilarang hidup !!”. Menurut anda bagaimana ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun