Mohon tunggu...
Jimmy Ginting
Jimmy Ginting Mohon Tunggu... profesional -

Tidak ada yang istimewa, hanya ingin berbagi dan mengambil pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Belum Saatnya Cukai Soda Diberlakukan

6 Maret 2015   22:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:03 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Akhir pekan ini, meskipun DPR masih dalam masa reses, dunia usaha yang menitikberatkan pada produksi minuman ringan bersoda merasa was-was. Hal ini dipicu oleh rencana – yang lama tertunda – pemerintah mengenakan cukai pada minuman bersoda (cukai soda) mendapat dukungan dari salah satu anggota DPR dari panitia kerja penerimaan negara. Argumentasinya, bahwa beberapa negara sudah menerapkan kebijakan cukai soda. Lainnya, bahwa minuman bersoda berdampak negatif pada kesehatan sehingga perlu diawasi dan dikendalikan.

Prinsip dalam pengenaan cukai dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai mengatur bagaimana suatu barang yang dapat dikenakan cukai meliputi beberapa alasan termasuk alasan utama, yaitu kesehatan. Namun, ada prinsip yang utama yang harus diperhatikan, di mana pengenaan cukai haruslah demi keadilan dan keseimbangan. Prinsip ini memungkinkan pembuat kebijakan menghasilkan aturan yang dapat diterima semua kalangan. Artinya, penting untuk mendengarkan – dengan mengajak – semua pihak yang berkepentingan membahas regulasi yang akan diterapkan.

Dalam sejarahnya, wacana pengenaan cukai soda mulai ada sejak 1998, dan puncaknya terjadi pada tahun 2008 di mana secara serius wacana ini bergulir di tingkat legislatif. Apa artinya ? 17 tahun sudah wacana cukai soda mengalami dinamika dan belum terselesaikan. Pertanyaannya adalah, mengapa hingga saat ini cukai soda belum juga dikenakan ? Jawabannya tentu sangat mudah, bahwa pemerintah sudah mengetahui hitungan baik-buruknya apabila cukai soda dikenakan. Lalu, apakah tahun ini sudah tepat untuk diterapkan ? Jawabannya tentu saja, belum tepat ! Mengapa ?

Argumentasi Aspek Kesehatan Masih Lemah

Dari aspek kesehatan, soda bukanlah satu-satunya penyebab gangguan bagi kesehatan. Ian Brown, seorang peneliti dari Departement of Epidemology mengemukakan pendapatnya bahwa lebih baik meminum air putih atau teh tanpa gula atau pemanis karena minuman berpemanis atau bersoda dapat menaikkan tekanan darah. Pendapat ini dipertegas kembali oleh studi terbaru di Swedia yang dipublikasikan dalam Journal of Nutrition bahwa konsumsi minuman berpemanis dua porsi per hari dapat meningkatkan resiko stroke sebesar 22%. Kedua penelitian ini linier dengan penekanan minuman berpemanis yang tidak hanya dimonopoli oleh minuman soda. Di Indonesia sendiri, sumber kalori masyarakat di dominasi oleh nasi sebesar 44% dan minuman berpemanis tanpa susu sebesar 11%. Badan kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan masyarakat agar mengurangikonsumsi gula dibandingkan minuman soda. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih memahami bahwa ancaman serius berasal dari pemenuhan kebutuhan akan kalori yang bersumber dari makanan dan atau minuman dengan kandungan gula tinggi.

Dari sisi konsumsi minuman bersoda, Indonesia masih berada dalam urutan ketiga dunia terendah di atas India dan Mali. Konsumsi masyarakat Indonesia per kapita pertahun hanya sebesar 2,73 liter. Urutan pertama dunia dipegang oleh Meksiko, kemudian secara berurutan yaitu Chile, Amerika Serikat, Panama, Argentina. Bagaimana dengan negara tetangga ? Malaysia dan Singapura berada di atas Indonesia dalam hal konsumsi.

Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari konsumsi, minuman bersoda belumlah mengganggu kesehatan masyarakat secara umum, terlebih masalahnya bukanlah pada “soda” akan tetapi “gula”. Dengan kata lain, jika pemerintah bersikap seimbang dan adil, maka minuman berpemanis masuk dalam kategori barang kena cukai. Bukanlah mayoritas minuman ringan bersoda telah mendapat persetujuan dari BPOM dan standar Halal ?

Ancaman Terhadap Ekonomi dan Budaya

Cukai soda dipastikan akan memunculkan masalah baru, yaitu pengangguran baru serta ancaman inflasi. Tidak kurang dari 70.000 orang akan berhadapan langsung dengan ancaman PHK. Belum lagi ancaman berkurangnya pendapatan para penjual pengecer. LPEM-FEUI menemukan bahwa kenaikan cukai soda sebesar Rp. 3.000 akan berdampak pada hilangnya pendapatan negara sebesar Rp. 5,6 triliun dari penjualan minuman ringan. Secara total, negara akan kehilangan pendapatan sebesar Rp. 12,2 triliun dikarenakan implikasi dari aktivitas hulu dan hilir sektor minuman ringan.

Di banyak daerah, minuman soda – dikenal sebagai limun – seperti Tjap Badak, Sarsaparila, Temulawak dan lainnya berfungsi tidak hanya sebagai saluran nafkah, tetapi juga budaya daerah lewat penyematan sebagai salah satu ikon daerah. Kelompok usaha kecil dan menengah ini juga perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah, terutama dari sisi regulasi yang menjamin keberlangsungan usaha mereka.

Negara selayaknya hadir untuk melihat potensi ancaman ini. Jangan hanya karena dibebani target penerimaan sebesar Rp. 141, 7 triliun oleh DPR, lalu pemerintah terburu-buru menerapkan kebijakan. Meskipun harus diakui setidaknya hingga hari ini, pemerintah sangat berhati-hati. Pemerintah perlu belajar dari Denmark yang berani meniadakan cukai soda setelah puluhan tahun menjadikan minuman soda sebagai objek cukai.

Sekarang Belum Saatnya

Saya meyakni bahwa sesungguhnya pemerintah telah dan jelas memahami terhadap kajian penerapan cukai soda. Oleh sebab itu, meskipun ada beberapa dorongan dari pihak tertentu, kunci utama ada di tangan pemerintah sebagai pelaksana dan pembuat regulasi terkait soda. Cukai soda belumlah tepat apabila dikenakan saat ini ketika konsumsi belum signifikan. Belum tepat dikenakan ketika belum adanya argumentasi dari aspek kesehatan yang cukup sehingga dapat diuji secara ilmiah. Optimalisasi barang kena cukai yang sudah ada serta perbaikan sistem pengawasan akan meminimalisir potensi hilangnya penerimaan negara di masa depan. Saatnya pemerintah terus bersikap arif dan bijaksana seperti yang selama ini ditunjukkan di sektor lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun