Beban berat Jokowi sekarang ini justru berasal dari rekan-rekan seperatainya sendiri didukung. Nama Effendi Simbolon merupakan politikus PDIP pertama yang secara terang-terangan menyerang Jokowi. Terakhir Effendi menyebut, bukan kabinet yang perlu direshuffle, tapi presiden!.
Menyusul Rieke Dyah Pitaloka, kader PDIP yang menyesalkan ajakan memilih Jokowi pada perhelatan Pilpres lalu. Ia bahkan mengajak buruh menduduki istana pada 1 Mei ini, menolak kebijakan pencabutan subsidi BBM .
Sebelumnya, Puan Maharani yang notabene anggota kabinet kerja dengan lancang menyatakan jika presiden Jokowi masih petugas partai. Pernyataan yang dianggap sangat menjatuhkan wibawa atasannya itu.
Ada pula nama Faisal Akbar, politis Nasdem yang menyerang Jokowi lewat staf khusus kepresidenan yang dikomandoi Luhut Panjaitan. Akbar menuding Luhut membisik Jokowi untuk membeli alat canggih penyedot data KPU.
Koalisi partai pendukung Jokowi bahkan bahu membahu dengan KMP ramai-ramai menyerang Jokowi saat membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Awalnya, publik menduga jika pernyataan keras mereka itu atas dasar kekecewaan tak masuk dalam jajaran kabinet kerja Jokowi. Anggapan itu kemudian perlahan sirna, menyusul tidak adanya teguran dari partai atas ulah mereka. Kini semua mata tertuju kepada sosok Megawati. Megawati dituding berada di balik semua serangan itu. Dugaan itu semakin kuat menyusul pidato Megawati pada rakernas PDIP di Solo baru-baru ini yang menyebut istilah “penumpang gelap”. Padahal sebelum-sebelumnya Mega memilih diam. Entah siapa yang dimaksud, banyak yang bilang Mega menyindir mereka-mereka yang kini menduduki posisi penting padahal tak punya andil dalam pilpres. Ini juga memperkuat tudingan Akbar Faisal sebelumnya tentang deparpolisasi oleh pihak istana. Nah, silakan membuat dugaan sendiri.
Presiden Jokowi sendiri yang jadi sasaran tembak tak menggubris. Ia memilih tak meladeni serangan-serangan itu, hampir tak ada yang membelanya, kecuali beberapa pengamat politik yang jelas berada di luar lingaran kekuasaannya. Sikap diam ini cukup ampuh, seperti kata pepatah; anjing menggonggong, kafilah berlalu. Prinsip Jokowi, mungkin tak ada gunanya meladeni mereka, hanya akan memperuncing keadaan. Diam itu emas, bisa jadi begitu prinsipnya. Atau mungkin Jokowi beranggapan mereka hanya kurcaci yang tak selevel berseteru dengan seorang kepala negara.
Apa yang dialami Jokowi tentu berbanding terbalik dengan era presiden SBY. SBY begitu dihormati, tak ada pembangkangan dari orang-orang Demokrat. Tercatat, dari sekian banyak partai pendukungnya, hanya PKS yang sempat beberapa kali berseberangan dengan SBY, yang lainnya manut. Hebatnya, SBY punya bemper-bemper hebat yang siap pasang badan jika diserang dari luar yang kebanyakan dari pihak oposisi seperti Ruhut Sitompul, Ramadhan Pohan dan lain-lain. Jangankan mengganggu SBY, menyentil anggota keluarga Cikeas pun harus berhadapan dengan Ruhut,cs.
Posisi SBY sebagai pendiri, ketua pembina bahkan ketua partai Demokrat memang sangat menguntungkan, dan itu pula yang tidak dimiliki seorang Joko Widodo. Jokowi dengan tubuh kurusnya menahan badai sendiri. Ia seperti sebatang kara, tak punya teman. Bukan hanya was-was dengan musuh luar selimut yang lebih nyata ia juga ekstra waspada dengan musuh dalam selimut, yang ia sendiri tak tahu yang mana.
Wapres Jusuf Kalla yang sebenarnya diharapkan menjadi tameng sang presiden tampak diam dan cenderung menghindar. Tak sedikit yang negatif thinking, curiga jika ini langkah JK untuk menyingkirkan Jokowi untuk menduduki tahta RI1 seperti yang diungkapkan Ketua DPP Partai Gerindra Arif Puyuono di sebuah media online. Dia menyebut ada kemungkinan setelah Jokowi dilengserkan, maka Jusuf Kalla (JK) akan naik menjadi presiden dan Puan Maharani menjadi wapres. Ini juga diamini Lily Wahid adik kandung Gus Dur.
Melihat situasi seperti ini, mengingatkan kita pada Ahok. Ahok yang dulu menjadi jadi wakil Jokowi di DKI sangat berhasil memposisikan dirinya sebagai tameng pelindung Jokowi. Ia selalu siap pasang badan untuk atasannya, sehingga Jokowi lebih fokus mengurusi hal-hal yang lebih penting.