Mohon tunggu...
Junaedy Patading
Junaedy Patading Mohon Tunggu... Swasta -

Menulis untuk mengabadikan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melihat Sisi Lain Papua

10 Februari 2015   22:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:28 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14235555111305645423

Papua itu seksi, dari keindahan dan kekayaan alam hingga talenta-talenta alami pemain sepak bolanya.

[caption id="attachment_350390" align="aligncenter" width="540" caption="klasik.kontan.co.id"][/caption]

Karena itu, Pulau Papua oleh almarhum Franky Sahilatua dalam lagu ciptaannya disebut sebagai “surga kecil” yang jatuh ke bumi. Sayang, dari dulu hingga sekarang Papua muncul di layar kaca maupun pemberitaan karena konflik, kemiskinan dan keterbelakangan. Dan ini justru lebih ditonjokan dan dijadikan komoditas jualan media. Padahal yang sebenarnya banyak hal-hal baik dan unik yang tak banyak diketahui orang luar tentang Papua.

Tanpa bermaksud mendiskreditkan, tapi sekadar membandingkan, penulis pernah bermukim di Makassar, Ibukota Sulawesi Selatan antara tahun 2009-2006. Dalam kurun waktu itu saya acap kali jalan-jalan ke luar kota, mengunjungi daerah perkampungan yang mungkin lebih tepat disebut pedesaan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari pinggiran kota, kurang lebih 25-30 kilo meter. Kecuali anak-anak sekolah dan muda-mudi, di tempat ini kita akan sulit menemukan orang yang bisa berbahasa Indonesia. Orang-orang tua dan lansia menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-harinya. Tak jarang kita harus menggunakan penerjemah untuk berkomunikasi dengan mereka.

Tapi coba sekali waktu Anda menyempatkan diri ke Papua, kunjungi daerah perkampungan. Anda akan menemukan fakta di mana hampir semua orang bisa menggunakan bahasa Indonesia. Dalam kenyataannya, mereka juga punya bahasa daerah yang digunakan sehari-hari. Jangankan yang di pinggiran kota, daerah pedalaman yang di balik-balik gunung pun sebagian besar paham dan mengerti menggunakan bahasa Indonesia meskipun kadang tidak terlalu jelas. Tapi itu persoalan dialek, sama halnya ketika Anda sedang mendengar orang tak sesuku berbicara.

Selain soal kemampuan berbahasa rata-rata masyarakatnya, Anda juga mungkin akan kaget dengan sapaan akrab orang-orang kampung tadi. Saat berpapasan, ucapan “selamat pagi”, “selamat siang”, “selamat malam”, tergantung waktu, akan spontan terucap dari mereka, bahkan sebelum Anda mendahuluinya. Ada lagi yang namanya “mob”, lelucon ala Papua. Tak lengkap rasanya jika sebuah acara kumpul-kumpul tak diwarnai dengan tawa menggelegar, hasil lelucon yang dibawakan secara bergantian. Mirip stand up comedy, dengan dialek khas Papua. Kebiasaan ini juga dilakoni segala umur. Sebuah stasiun televisi lokal di jayapura bahkan punya acara hiburan khusus dengan “mob”. Dari kebiasaan “mob” ini penulis bekesimpulan jika ini cukup berdampak terhadap mental masyarakat asli Papua. Dari sini, mereka sepertinya terlatih tampil di depan umum, sehingga di forum-forum resmi mereka tak merasa canggung atau minder untuk mengungkapkan pendapat.

Ada lagi yang unik tentang Papua, soal kebiasaan mengunyah sirih-pinang. Kalau di daerah lain para penggemar adalah mereka yang sudah lanjut umur, maka beda halnya di Papua, utamanya wilayah pesisir pantai. Mulai dari anak kecil hingga tua, dari anak SD hingga mahasiswa rata-rata punya kebiasaan mengunyah sirih-pinang. Tak sedikit warga pendatang yang ketularan akan kebiasaan ini. Bagi yang pertama kali mencoba kadang mengalami pusing.

Tak ada penjelasan secara medis, tapi mengunyah sirih-pinang diyakini bisa menguatkan gigi dan rahang. Sirih-pinang juga merupakan sajian wajib dalam setiap upacara adat. Tak heran jika sirih-pinang menjadi komoditas dagang yang cukup menjanjikan di Papua. Tahun 2013 lalu, seorang mantan polwan-asal Sulawesi Tenggara-pernah bercerita jika ia meraup untung cukup besar “hanya” dengan bisnis pinang ke Timika dan Merauke.

Menurutnya, ide itu muncul ketika suatu waktu ia berkunjung ke Merauke. Ia melihat jika tingkat kebutuhan dan konsumsi akan pinang sangat tinggi. Sepulang dari sana ia lantas memutuskan untuk menggeluti bisnis ini. “Pinang di daerah saya sangat banyak, tak diapa-apain,” katanya ketika itu.

Yang disayangkan, kebiasaan ini kerap menjadi biang masalah. Biasanya tempat-tempat umum kurang menyenangkan lantaran jadi sasaran pembuangan (maaf) ludah pinang yang berwarna merah. Makanya larangan merokok di suatu tempat pasti diikuti dengan larangan makan pinang. “Dilarang Merokok dan Makan Pinang”, selalu begitu tertulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun