Riuh ramai masyarakat atas digusurnya 60 rumah di kawasan Rawajati Barat pada Kamis (1/9) kemarin. Viral di banyak media foto-foto dan pemberitaan mengenai penggusuran warga yang berada di dekat kawasan Apartemen Kalibata City tersebut. Sejumlah alat berat kemarin diturunkan pemerintah DKI untuk meluluhlantakkan rumah-rumah warga.
Sesaat pemandangan di pelataran jalan raya berubah menjadi layaknya pengungsian. Terdapat banyak puing-puing dan aneka barang warga yang ditumpuk dan dijajarkan di pelataran. Penggusuran yang dihaluskan istilahnya oleh pemerintah menjadi penertiban selalu berbuah tangisan dan penolakan warga.
Sejatinya, perihal penggusuran warga Rawajati ini oleh beberapa pihak telah diperingatkan untuk setidaknya diundur. Pihak tersebut yakni KPUD DKI Jakarta. Hal ini berkaitan dengan jelang Pilkada DKI Jakarta. Dengan digusurnya warga, akan menyebabkan warga di alamat tersebut berpindah dan menjadi blunder tersendiri pada saat pencoblosan nantinya.
Sejumlah warga yang digusur dipindahkan ke Rusun Marunda, Jakarta Utara. Mereka mengeluhkan beberapa hal di antaranya letak lokasi rusun yang terbilang sangat jauh dari tempat semula tinggal. Namun demikian, oleh pemerintah dalam hal ini gubernur Ahok, hal ini tidak digubrisnya. Persoalan gusur menggusur bukan hanya sekadar merelokasi rumah warga. Memang, pemerintah memiliki hak untuk memindahkan warga jika mereka menempati tanah pemerintah (tinggal secara illegal). Namun demikian, lebih dari itu, persoalan gusur menggusur adalah lebih kepada pendekatan kultural psikologis pada warga.
Akan selalu buruk, gubernur atau pemerintah yang tukang gusur di mata warga. Terlebih gubernur yang tidak memerhatikan aspek psikologis warganya. Warga lebih dari sekadar membutuhkan rumah pengganti (rusun) yang disediakan pemerintah. Akses keterjangkauan terhadap lapangan pekerjaan warga juga jelas menjadi pertimbangan yang patut diperhitungkan. Di samping itu, kerapkali warga yang sudah direlokasi mendapati rusun yang disediakan bukan sama atau lebih baik dari tempat tinggalnya semula malah lebih buruk dari segi kebersihan, kenyamanan, keamanan, dll.
Menjadi pemimpin memang tidak mudah. Untuk itu, sebagai warga/masyarakat yang dipimpin, menjadi PR bagi kita juga memilih pemimpin yang terbaik. Dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 nanti menjadi kesempatan emas bagi kita warga Jakarta untuk memilih pemimpin yang humanis, adil dan santun.
Tepat menjadi alternatif pemimpin DKI mendatang adalah Dr. H. Saefullah, M.Pd. Pada Pilkada DKI 2017 ini, Saefullah yang merupakan Ketua PWNU DKI Jakarta didukung oleh banyak partai besar seperti Gerindra, PKS, PPP, dan tentunya PKB yang tergabung dalam Koalisi Kekeluargaan. Hal ini bisa menjadi salah satu indikator yang jelas bahwa Saefullah dinilai layak untuk memimpin DKI Jakarta nantinya.
Soal pengalaman, Saefullah bukan termasuk orang baru dalam hal menjadi birokrat/pemimpin di DKI Jakarta. Saefullah juga merupakan sosok yang santun namun berprinsip, sebuah kekhasan putra asli Betawi. Semoga ke depan Jakarta terbebas dari gubernur yang menggusur hanya dengan menggusur namun kurang memerhatikan aspek-aspek psikologis warga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H