Rata-rata dari kita pasti akan gerah jika berurusan dengan polisi. Jamin 100%. Tidak perlu mengundang Nararya untuk membuktikan validitas kesimpulan saya itu, meskipun tanpa premis langsung loncat pada kesimpulan. Rata-rata dari kita pasti punya "dendam kesumat" dengan polisi, entah itu karena ditilang di jalan raya, mengurus surat kehilangan, mengurus SKCK dan sebagainya. Dendam kesumat ini jarang bisa kita lampiaskan, loh polisi.....? siapa yang berani toh? Namun ketika akhirnya KPK mengumumkan bahwa salah satu dari petinggi polisi yang akan dilantik menjadi kapolri dijadikan tersangka-syahwat dendam kita pun sepertinya terlunaskan [tanpa kita sadari dan tidak perlu unjuk jari], kita ramai-ramai mendukung membabi buta aksi KPK. Bravo KPK, mantap KPK, KPK I love you full, mampus kau polisi dan sebagainya [inipun kita lampiaskan dalam hati kita masing-masing, meskipun ada juga yang terang-terangan].
Pertanyaan pentingnya adalah BG itu kasusnya dugaan korupsi atau gratifikasi? Lalu mengapa masih banyak pengamat politik di forum ini yang masih ngotot menduga BG itu korupsi? Hayo ngaku siapa-siapa saja yang menyebut BG itu korupsi dalam artikelnya ataupun di komentarnya?
BG ini menerima duit di rekeningnya pada periode Agustus 2005 - Januari 2008. Total dari 2 rekeningnya dan 1 rekening anaknya berkisar kurang lebih 108 Milyar [sumber majalah detik edisi 164 19-25 Jan 2015]. Adapun jabatan BG saat periode penerimaan duit hantu blau itu adalah kepala pembinaan karir dan deputi SDM polri (karobinkar SSDM Polri) dari periode 2004-2006. Lalu kaselapa lemdiklat polri periode 2006-2008. Nah, menurut anda apakah mungkin pengusaha hitam atau anggota DPR (yang konon sering main proyek) akan memberikan upeti pada polisi administrasi? Marilah kita berandai-andai, jika anda pengusaha hitam, anda mau buka tambang di Kalimantan sana, yang anda dekati polisi administrasi atau kapoldanya?
Pertanyaan lainnya adalah mengapa pengumuman tersangkanya BG oleh KPK pada saat beliau akan ditetapkan menjadi kapolri. Sementara menurut wakapolri-BH, dalam wawancaranya di salah satu televisi nasional, bahwa surat pengaduan ke KPK itu tanggal 12 Januari 2015, lalu surat perintah penyelidikan tanggal 12 Januari 2015 dan penetapan tersangka juga tanggal 12 Januari 2015 (https://www.youtube.com/watch?v=okhSP4DC5j4 menit 15.30), sementara siapa yang mentransfer dananya belum pernah dipanggil menjadi saksi dan si penerima dananya juga belum pernah dipanggil menjadi saksi. Bukankah ini sama saja dengan kriminalisasi berkedok perang terhadap korupsi oleh KPK? Apa implikasinya pada kita, bayangkan jika saya transfer uang dari rekening saya yang tidak gendut sebesar Rp 10 Milyar kepada anda, lalu oleh PPATK rekening anda disemprit karena misalnya anda hanyalah seorang kompasianer yang mocok-mocok, lalu oleh KPK anda ditetapkan jadi tersangka hanya gegara anda tiba-tiba punya uang Rp10 Milyar, anda terima tidak dikatakan koruptor tanpa ada klarifikasi dari saya sebagai pentransfer dan anda sebagai penerima.
Itu masih kita sebagai rakyat, lah ini yang dibegitukan adalah calon kapolri, pemilik bedil di republik ini dan tau seluk belum hukum, yah menurut saya siy anda kebablasan. Era koboi sudah berlalu bang Samad, ga usahlah gagah-gagahan. Billy The Kid aja kaga begitunya kali. Jika bukti anda belum cukup yah, legowo sajalah dulu, kumpulkan bukti yang cukup agar si pemilik bedil itu tidak bisa berkelit, bukan dengan mentersangkakan lalu mengagitasi rakyat yang konon katanya jelas itu menjadi tameng bagi hasrat anda pribadi. Jangankan kapolri, Jokowi si presiden itupun jika punya bukti melanggar hukum sama saja dengan anda dan saya, bisa dibui koq, lalu buat apa tergesa-gesa gitu loh. Apa karena sudah distabilo merah lalu presiden tetap ngotot mengajukan BG anda tersinggung? Ya elah, anda itu "petugas hukum", bukan provakator hukum, tugas anda mencari bukti-bukti kesalahan pejabat negara dan membuktikannya ke pengadilan, bukan lantas karena BG lolos verifikasi kapolri anda tersinggung karena BG sudah dalam tahap penyelidikan. Emang tahap penyelidikan bisa dikonotasikan bersalah di depan hukum? Hakimlah pemutus manusia bersalah di republik ini, bukan KPK melalui corong medianya.
Sekarang permasalahan sudah meluber kemana-mana layaknya air di kali Ciliwung, mengalir jauh kesana. Bagi saya pribadi, permasalahan ini triggernya adalah ego KPK. Dalam beberapa kesempatan saya lihat juga ego para petinggi KPK ini sudah melebihi kewenangan yang diembannya, seperti telepon panglima TNI, membiarkan rakyat berbondong-bondong berorasi di depan kantornya padahal sudah diinstruksikan menahan diri oleh panglima tertinggi militer negeri ini, bersikap negatif ketika rapat dengan presiden di Bogor dimana meminta pulang ke Jakarta karena belum ada keputusan presiden. Bagi saya, sudahlah kita memang punya mimpi buruk dengan polisi, tapi janganlah kita merelakan KPK juga meniru sikap polisi. Selamatkan KPK dari sakit penyakit pimpinannya. Mari kita tidak mendukung institusi tertentu karena kita punya akar kepahitan kepada polisi. Simplenya jangan termakan jargon-jargon dan opini-opini media. Toh media juga punya andil besar dalam kisruhnya republik ini. Ayo dukung Manchester United malam ini....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H