Indonesia telah bermain dibawah standar akibat adanya pembatasan internal yang dibuat oleh KPSI. KPSI yang juga dikenal sebagai organisasi yang sebelumnya dianggap “menyelamatkan” sepakbola Indonesia, telah memulai langkahnya sejak sebelum kekalahan bersejarah Indonesia 10-0 dari Bahrain.Pada saat itu, lima pemain termasuk kiper kedua Kurnia Meiga, tiba-tiba memutuskan mundur dari Timnas. Keadaan ini telah merusak persiapan tim dengan sedemikian rupa. Gara-gara kejadian ini, kipper ketiga Indonesia yang sama sekali belum pernah dimainkan di pertandingan internasional harus menghadapi 4 tendangan penalti pada penampilan perdananya setelah kiper utama terkena kartu merah. Tentu saja, taktik semacam ini tersembunyi dengan sempurna akibat publik terlalu terkejut dengan kekalahan telak ini. Beberapa bulan kemudian, masalahnya sudah jelas saat Kurnia Meiga ternyata pindah ke klub yang bermain di ISL, liga yang didukung KPSI.
Bakat Tua Di ISL
ISL sebagai liga tidak legal, sayangnya sudah terisi dengan banyak pemain berbakat terkenal Indonesia. Nama seperti Bambang Pamungkas, salah satu pemain Indonesia dengan penampilan internasional terbanyak, langsung berada di barisan pendukung KPSI. Pemain yang sebelumnya dikenal sebagai pemain yang nasionalis ini langsung berubah menjadi pemain “professional” secara tiba-tiba. Atas nama profesionalisme, Bambang dan banyak lagi pemain ISL menolak tugas untuk membela Timnas.
Membangun Tim dari Nol
Atas penolakan tersebut, PSSI akhirnya menghadapi masa yang sulit dalam membangun Timnas. Turnamen internasional yang diadakan di Palestina dan Brunei Darusalam untungnya telah membuka ruang bagi pemain sepakbola yang baru untuk tampil. Dan tren ditemukannya bakat baru yang masih amatir telah membawa hasil positif pada penampilan tim U22 Indonesia.Indonesia berhasil menemukan bakat-bakat baru seperti Rashid, Hendra Bayau, agung dan banyak pemain baru lainnya.
Menarik untuk dicermati bahwa selama periode turnamen di Palestina hingga Kualifikasi U22 AFC, sebenarnya ada pemain-pemain yang berinisiatif menjawab panggilan timnas meskipun ancaman KPSI membayangi. Diego Michels menjadi yang pertama keluar dari Pelita, klub yang berlaga di ISL, meskipun dia diancam akan menghadapi konsekuensi serius dari pilihannya itu. Gelombang berikutnya yang bergabung dengan timnas adalah trio Papua. Mereka adalah Tibo, Okto dan Wanggai. Seperti halnya Diego Michels, trio ini juga menghadapi berbagai ancaman setelah memutuskan untuk bergabung dengan timnas. Okto bahkan diusir dari klubnya, Persiram, tanpa kompensasi yang jelas.
Inspirasi Murni VS Intimidasi KPSI
Dedikasi yang beresiko pada timnas Indonesia yang ditunjukkan oleh para pemain muda ini, untungnya telah berhasil menggugah pemain senior seperti Bambang Pamungkas dkk untuk mulai mempertimbangkan kembali soal dukungan terhadap timnas Indonesia. Keinginan untuk mendukung timnas dalam laga melawan Valencia, kembali lagi dibayangi dengan ancaman dari KPSI untuk pemain ISL yang tertarik bermain untuk timnas. Ketua KPSI, La Nyalla Mattaliti menyatakan bahwa pemain yang ikut dalam timnas adalah pemain amatir yang tidak tahu masalah keorganisasian.
Keputusan untuk mendukung timnas oleh para tetua ini mungkin bisa dilihat sebagai pertanda yang agak terlambat, namun banyak pendukung timnas Indonesia yang yakin bahwa ini akan bisa membantu tim untuk kembali ke standar yang lebih tinggi. Kehadiran pemain senior di dalam tim muda ini, diharapkan dapat menginspirasi pemain muda untuk menampilkan yang terbaik. Lebih jauh lagi, semoga keputusan ini bisa menjadi contoh yang baik tentang bagaimana proses rekonsiliasi sepakbola Indonesia diperjuangkan secara positif oleh pemain.
“Ayo kita bangkit!!! Karena Kita Indonesia”
*
*
*Ini adalah terjemahan suka-suka dari artikel sebelumnya yang berjudul “From The Ashes We Arise!!! We Are Indonesia”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H