Mohon tunggu...
Aninda
Aninda Mohon Tunggu... Lainnya - sedang menikmati proses hidup

Pribadi yang selalu ingin belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Trend TikTok dalam Kacamata Jean Baudrillard

14 November 2024   14:55 Diperbarui: 14 November 2024   15:18 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: Digital 2024 - We Are Social Indonesia 

Pendahuluan

Maraknya penggunaan aplikasi TikTok di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan kehadiran media sosial telah mewakili proses perkembangan teknologi komunikasi yang sangat cepat dan masif. Media sosial telah membawa banyak perubahan dengan pembaruan versi yang lebih lengkap dan canggih guna menunjang kebutuhan setiap penggunanya. Media sosial kini tidak hanya digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi, tetapi juga sebagai alat mengekspresikan diri (self expression) dan self branding. Melalui media sosial setiap individu dapat berkomunikasi dan berbagi informasi kepada semua kalangan masyarakat. Saat ini platform yang paling banyak diminati adalah TikTok. Berdasarkan pembaruan data oleh We Are Social, jangkauan iklan TikTok mengalami peningkatan signifikan mencapai 1.56 Miliar pengguna setiap bulan dan angka ini belum mencakup seluruh audiens di berbagai belahan dunia, pemetaan ini berdasarkan skala usia pengguna 18 tahun keatas.  

Sedangkan berdasarkan kebutuhan waktu untuk mengakses, aplikasi TikTok berada di urutan pertama, yang artinya hampir sebagian besar pengguna media sosial di berbagai belahan dunia ini banyak menghabiskan waktunya menjelajah ruang maya (cyberspace), bahkan ada yang merasa hidupnya akan terasa hampa ketika tidak bersentuhan dengan internet dalam sehari walaupun hanya sekedar scroll. Cyberspace sendiri didefinisikan sebagai sebuah ruang yang di dalamnya orang dapat menciptakan dan mengubah peran, identitas, dan konsep diri sesuai dengan keinginannya (Azwar, 2014). Contoh sederhananya yang dapat kita lihat saat ini adalah penggunaan fitur filter wajah pada beberapa media sosial, yang paling banyak adalah filter Instagram dan TikTok. Hal ini dilakukan oleh setiap user karena merasa lebih baik dan meningkatkan rasa percaya diri saat menggunakan filter daripada menunjukkan tampak yang asli. Cyberspace telah menjelma menjadi suatu budaya tersendiri, menggugat individu akan realitas yang ada. Semua yang terdapat di dalamnya dipenuhi dengan tanda, warna, citra, gaya, nuansa, namun tanpa makna, fungsi, dan tujuan. Hal ini memperkuat cyberspace menjadi satu arena simulasi dan kita pun menjadi simulacrum di dalamnya. Sehingga menyebabkan suatu bentuk kekacauan dalam bidang komunikasi dan informasi, dimana pengguna lain yang melihat hasil tampilan karena filter merasa tertipu atau bahkan dapat melakukan hal yang sama namun untuk tujuan yang buruk yakni menipu orang lain dengan filter pada media sosial. 

source: Digital 2024 - We Are Social Indonesia 
source: Digital 2024 - We Are Social Indonesia 

Tulisan yang singkat ini mencoba untuk menelusuri teori simulacrum yang dikaitkan dengan penggunaan filters di media sosial oleh users TikTok yang belakangan ini marak digunakan. Bagaimana masyarakat yang kini menikmati ruang digital tidak lagi menikmati konten atau tampilan yang bersifat orisinil melainkan melihat sesuatu yang jauh dari kenyataan dan bahkan kita sendiri pun dengan mudah melakukan hal yang sama karena mengikuti trend  yang ada. Fenomena seperti ini menunjukkan kemunduran realitas dan semakin tenggelam dalam hyperreality yang disajikan oleh media sosial melalui kecanggihan fitur-fiturnya.

Pembahasan

Simulacra - Simulations 

Merujuk pada karya yang berjudul Simulacra and Simulations (1985), Jean Baudrillard menyebutkan bahwa masyarakat simulasi adalah bentuk karakter identitas masyarakat kontemporer dalam kehidupannya selalu dibuat repot dengan sebuah absurditas kode, tanda, simbol, dan model. Dalam simulacra secara esensial manusia itu tidak ada dalam kehadiran realitas sesungguhnya, tetapi selalu berpikir imajiner dan ada pada delusi dalam melihat realitas di ruang tempat mekanisme simulasi berlangsung. Keadaan ini telah membuat jarak antara kebenaran dan kepalsuan, realitas dan rekaan terasa jauh dan memiliki kesamaan. Oleh karena itu yang dihasilkan dalam realitas ini adalah keadaan semu dan kepalsuan hasil simulasi (hyper-reality). Dalam analisis kemajuan teknologi virtual, Baudrillard menjelaskan bahwa realitas semu dan rekayasa atau manipulasi adalah keadaan di mana manusia terjebak dalam realitas yang dianggap asli dan nyata. 

Perkembangan teknologi dan dunia virtual menurut Baudrillard sudah menjadi bagian dari sistem kehidupan manusia. Seperti halnya peralatan canggih komputer, internet, atau iklan yang telah mampu membuat sebuah realitas dan seperti mesin waktu untuk bernostalgia dengan masa lalu. Terlebih, semua yang diciptakan itu mampu memproduksi kenyataan dunia baru yang sesungguhnya itu adalah sekedar fantasi, ilusi, dan halusinasi sehingga terlihat seperti sebuah realitas sungguhan. Lebih jauh, dengan teknologi realitas yang yang diciptakan melampaui yang sesungguhnya dan menjadi mode acuan bagi masyarakat dewasa ini. Istilah simulacra merupakan sebuah sebutan teori untuk menjelaskan sebuah simbol atau tanda dan citra yang tampak dalam realitas yang tidak ada rujukan dalam kebenaran keberadaannya. Akan tetapi simulasi ini menciptakan sebuah citra, tanda, dan simbol yang kemudian menjadi bagian dari sebuah realitas. 

Menurut Baudrillard pada saat ini komunikasi interaksi yang ditampilkan oleh media massa cenderung mengabaikan realitas yang sesungguhnya. Dalam teori simulacra Jean Baudrillard masyarakat kontemporer dibawa kepada realitas virtual, fenomena seperti ini menjadi budaya konsumsi citra yang ditawarkan oleh media massa. Simulasi yang ditampilkan membuat masyarakat menjadi tempurung. Masyarakat di giring pada kenyataan realitas yang palsu yang diciptakan oleh simulasi. Realitas yang bukan keadaan sebenarnya yang kemudian dicitrakan dalam bentuk realitas yang mendeterminasikan kesadaran masyarakat, inilah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas seperti ini tercipta oleh jenis-jenis media yang dijadikan acuan referensi untuk masyarakat pada umumnya. Dengan media, dunia imajinasi terbentuk dan disuguhkan oleh simulator dan pada akhirnya menggiring masyarakat pada suatu kesadaran palsu yang diciptakan oleh simulator tersebut. Keadaan seperti inilah yang dikatakan oleh Baudrillard ruang simulacra. Dalam mengkonsepkan era kontemporer Baudrillard menyebutkan massa yang menjadi konseptualisasi keadaan masyarakat yang sudah tercampuri oleh faktor budaya simulacra. Disinilah perkembangan teknologi dan informasi dapat terlihat menjadi realitas yang mampu di klaim sebagai bentuk produk dari modernitas yang menciptakan batasan imajiner dalam realitas dan diciptakan oleh sebuah proses simulasi. 

Hyperreality

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun