Alunan musik merayap masuk ke telinga gue begitu sampai ke Joglo Resto, Jogja Village Inn. Gue sendiri tak begitu kenal dengan alunan musik yang mendayu ini namun seolah akrab bahkan menggetarkan rasa hingga gue terbuai ketenangan.
Tak gue sadari suara ini bersumber pada pemutar cakram cd di ujung ruangan. Siapapun dia yang bernyanyi pastinya telah memberikan kesan pertama yang menenangkan. Bahkan gue belum bertemu dengan sosoknya, namun seolah alunan lagunya menyambut kehadiran gue.
Tak lama berselang sang diva datang dengan senyum dan busana kebaya khas Bali, menyapa setiap orang yang hadir. Dia...Ayu Laksmi, lady rocker tahun 1989, penyanyi perempuan pertama yang berhasil masuk industri music Indonesia.
[caption id="attachment_199909" align="alignleft" width="300" caption="ayu laksmi, Juli 2012"]
Ayu Laksmi lahir di Bali dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga seni. Mengenal panggung di usia 4 tahun dan melejit di tahun 1991 dengan album pertamanya “Istana yang Hilang”. Lebih dari 10 tahun setelahnya Ayu Laksmi vakum. Ayu melanglang buana dengan kapal pesiar, belajar berbagai bahasa dan kebudayan dan mendirikan cafe hingga tahun 2004, Ayu kembali berkarya dalam musik. Berbalik 360 derajat dari masa mudanya, Ayu mencipta komposisi musik dengan warna yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ayu lahir kembali dengan solo albumnya “Svara Semesta”.
“Album ini saya ciptakan, saya produseri, dan saya distribusikan sendiri. Saat membuat album ini, saya sudah berhenti untuk menargetkan sesuatu.” Tegas penyanyi yang pernah main di film Under the Tree sutradara Garin Nugroho.
Svara Semesta berisi 11 lagu. Kesan pertama saat mendengar seluruh lagunya, musik Ayu sangat lembut, etnik dan menenangkan. Tak ada telinga yang rusak bahkan bising saat mendengarnya. Isntrumen dan syarirnya tak berlama-lama singgah ditelinga dan otak namun langsung nyasar ke hati, menggetarkan seluruh tubuh. Uniknya syairSvara Semesta dikemas dalam lima bahasa, Sansekerta, Kawi, Bali, Indonesia dan Inggris. Bagi Ayu orang tak perlu mengerti artinya namun mengerti karena musik ini dicipta dengan bahasa cinta universal.
Whani Darmawan, aktor, penulis sekaligus penikmat musik memberi apresiasi bahwa Svara Semesta berpijak pada konsep Tri Hitakarana dan kesadaranan pada desa, kala, patra. Untuk tidak menyebut musik spiritual, musik Ayu Laksmi mennjadi counter balanceindustri musik umumnya.
Namun bagi gue, penikmat musik yang tak bisa nyanyi melihat bahwa Ayu Laksmi memberikan suara semesta yaitu suara yang muncul dalam bunyi-syair yang kadang diulang ulang laiknya mantra. Dalam Islam disebut wirit, dalam katolik disebut litani, nah...dalam musik Ayu laksmi banyak syair yang diulang sehingga menjadi mantra. Hebatnya mantra itu justru muncul dari bahasa kawi dan sansekerta. Sebut saja track 1 “Maha Asa (Big dream)” atau track 5 berjudul “Here, Now, and Forever More – Om Mani Padme Hum”.
Semua orang tau kalo “kata” telah menjadi “mantra” atau dalam bahasa iman “doa” maka segalanya menjadi tenang. Cerita nenek moyang tak pernah masuk dalam ranah rasio orang saat ini. Itu karena kita tak menjalani laku yang nenek moyang kita lakukan. Sebut saja segala kemudahan ini berkat teknologi namun mempunyai dampak buruk pada kemanjaan ruh kita. Sementara nenek moyang kita dapat melakukan hal sama tanpa teknologi. Ya itu semua karena kekuatan “kata” yang telah menjadi “mantra” (baca doa).
Kata itu mantra
Spiritual itu energi
Ruh itu kekuatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H