[caption id="attachment_103582" align="alignleft" width="300" caption="lurik ATBM"][/caption] Sanikem perajin lurik alat tenun bukan mesin (ATBM) asal desa grogol, kecamatan weru kabupaten sukoharjo mengeluh dengan maraknya lurik produksi pabrik di pasaran. Lurik produksi pabrik ini diproduksi menggunakan mesin sehingga berharga murah sekaligus memiliki warna lebih halus. Kerajinan tenun lurik telah ditekuni Sanikem sejak lama dan menjadi pekerjaan turun temurun di keluarganya. Nenek Sanikem meninggalkan satu alat tenun bukan mesin yang biasa digunakan untuk memproduksi tenun gendong. Lurik tenun gendong merupakan produksi asli masyarakat Grogol. Tenun gendong biasa dijual di pasar tradisional dan digunakan ibu ibu buruh gendong untuk membawa barang dagangannya. Namun sejak lima tahun terakhir ini alat tenun bukan mesin Sanikem bertambah menjadi tiga buah hasil pendampingan program pemulihan kebutuhan hidup paskagempa 2006 oleh Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ). Setelah batik merajai industri kain di nusantara, tenun menyusul. Semua ini karena para perajin di desa desa telah pulih dan mengembangkan kualitas dan desainya lebih serius. Sayangnya potensi ini justru digarap pemodal besar dengan mengeluarkan lurik sejenis dengan kualitas produksi mesin. Bayangkan harga lurik ATBM dari perajin Rp 35.000 – 50.000 mampu digeser lurik pabrik dengan harga Rp 25.000 di pasar. Warna lurik mesin ini juga lebih rata dengan pori pori kain lebih rapat. Namun ada kelemahan dari kualitas benang dan kainnya. Banyak konsumen yang mengeluh karena tidak nyaman mengenakan lurik produksi pabrik ini. Bahan Baku Naik Keterpurukan kelompok usaha tenun lurik ini semakin diperparah dengan naiknya harga bahan baku benang. Bayangkan saja benang katun seharga Rp 105.000 / press naik menjadi Rp 325.000/ pres. Itu pun terjadi kelangkaan di beberapa daerah. Para perajin ini membutuhkan tiga pres benang untuk memproduksi 40 kain tenun. “Sebenarnya kami tidak mau menaikkan harga takut tidak laku tetapi bila hal ini berlangsung terus menerus mau gak mau tetap kami naikkan”, keluh Setyadi, perajin tenun asal desa tegalrejo, Bayat, Klaten. [caption id="attachment_103589" align="alignright" width="180" caption="lurik pabrik produksi mesin"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H