Sejarah penulisan tafsir di Indonesia telah lama tumbuh dan berkembang. Pada awal abad ke-20, banyak karya tafsir mulai muncul yang ditulis oleh muslim Indonesia. Tafsir-tafsir ini memiliki beragam model, tema, dan bahasa. Salah satunya adalah Tafsir Al-Qur'an Al-Majid Al-Nur karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, yang menulis tafsir lengkap dalam bahasa Indonesia dan aksara latin, mengikuti urutan surah dalam mushaf Utsmani. Ini adalah ciri khas unik dalam sejarah penulisan tafsir Al-Qur'an di Indonesia. Proses sosialisasi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara telah mempengaruhi literatur tafsir di Indonesia. Sejak munculnya Sumpah Pemuda dengan ikrar "berbahasa satu bahasa Indonesia," banyak literatur tafsir Al-Qur'an ditulis dalam bahasa Indonesia dan aksara latin.Â
Model penulisan tafsir ini lebih populer karena dapat diakses oleh masyarakat Indonesia secara luas. Banyak muslim di Indonesia, terutama yang tidak mahir dalam bahasa Arab, lebih suka membaca tafsir dalam bahasa Indonesia. Saat ini, literatur tafsir Al-Qur'an di Indonesia banyak ditulis dalam bahasa Indonesia dan aksara Latin. Namun, sebagian ulama tetap menulis tafsir dalam bahasa Arab. Meskipun kurang umum, tradisi menulis tafsir dan karya ilmiah dalam bahasa Arab masih hidup di kalangan pesantren. Literatur tafsir Al-Qur'an yang berasal dari para Muslim di Nusantara mencerminkan keragaman bahasa dan aksara yang digunakan, dan ini mencerminkan "kedudukan tafsir" di antara karya-karya tafsir serta "kedudukan pembaca" yang menjadi targetnya.Â
Penggunaan bahasa Arab oleh ulama dalam menulis tafsir membuat karyanya lebih mudah diakses oleh komunitas Muslim internasional, namun di Indonesia, karya tafsir ini sering dianggap elitis karena tidak semua muslim Indonesia mahir berbahasa Arab. Di sisi lain, tafsir yang ditulis dalam bahasa daerah dapat memudahkan komunitas yang berbicara dalam bahasa tersebut. Namun, pada tingkat nasional, karya ini sering hanya relevan untuk komunitas daerah tersebut.
Biografi T.M. Hasbi ash-Shiddieqy
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 dan Wafat di Jakarta 9 Desember 1975. Ia adalah seorang ulama Indonesia yang ahli ilmu fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Ayahnya, Teungku Qadhi Cik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su'ud merupakan ulama yang masyhur di kampung halamannya dan memiliki sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Cik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, seorang Qadhi Kesultanan Aceh pada masa itu. Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieq, khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke-37 dari khalifah tersebut melekattan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya. Pendidikaan agamanya diawali di pesantren milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun ia mengunjungi berbagai pesantren dari satu kota ke kota lain. Kepada Syaikh Muhammad ibn Salim al-Kalali yang berkebangsaan Arab, Hasbi ash-Shiddieqy belajar bahasa Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Sookarti (1874-1943), yakni seorang ulama Sudan dengan pemikirannya yang modern di masa itu. Di tempat ini ia mengambil pelajaran spesialis dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikannya di sini dilalui selama 2 tahun.6 Al-Irsyad dan Ahmad Sookarti inilah yang mempengaruhi pemikirannya yang modern, sehingga pada saat kembali ke Aceh, Hasbi ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan Muhammadiyah.
Pada zaman demokrasi liberal, ia aktif terlibat mewakili Parta Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi Konstituante. Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan memfokuskan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya hingga tahun 1972. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama terbukti dari gelar doktor (Honoris Causa) yang diterimanya, seperti dari Universitas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Syari'ah di IAIN Sunan Kalijaga. Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya dalah tentang fiqh (36 judul). Bidang lainnya antara lain adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam, 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.
Karya-karya unggulan Hasbi ash-Shiddieqy di bidang Tafsir dan Ilmu al-Qur'an, antara lain: Tafsir al-Qur'anul Majid al-Nur, Ilmu-ilmu al-Qur'an, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Tafsir al-Bayan. Di bidang Ilmu Hadis, antara lain: Mutiara Hadis (Jilid I-VIII), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (I-II), Koleksi Hadis-hadis Hukum (I-IX). Di bidang Ilmu Fiqh, meliputi: Hukum-hukum Fiqh Islam, Pengantar Ilmu Fiqh, Pengantar Hukum Islam, Pengantar Fiqh Muamalah, Fiqh Mawaris, Pedoman Sholat, Pedoman Zakat, Pedoman Puasa, Pedoman Haji, Peradilan dan Hukum Acara Uslam. Dia juga menulis buku dengan tema umum, misalnya Al-Islam (Jilid I-II). Tafsir Al-Qur'an Al-Majid yang Al-Nur adalah sebuah karya tafsir yang ditulis oleh Hasbi. Proses penulisannya dimulai sekitar tahun 1952 dan diselesaikan sekitar tahun 1970 di Yogyakarta. Edisi pertama dari tafsir ini diterbitkan oleh CV. Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1956. Kemudian, edisi kedua diterbitkan pada tahun 1995. Edisi ini telah mengalami penyuntingan oleh kedua putranya, yaitu Prof. Dr. H. Nouruzzaman dan H. Z. Fuad Hasbi Ash- Shiddieqy.
Edisi pertama tafsir Al-Nur ini terdiri dari sepuluh jilid yang menggunakan bahasa dengan ejaan lama. Jilid pertama mencakup juz 1 hingga 3, jilid kedua (juz 4 hingga 6), jilid ketiga (juz 7 hingga 9), jilid keempat (juz 10 hingga 12), jilid kelima (juz 13 hingga 15), jilid keenam (juz 16 hingga 18), jilid ketujuh (juz 19 hingga 21), jilid kedelapan (juz 22 hingga 24), jilid kesembilan (juz 25 hingga 27), dan jilid kesepuluh (juz 28 hingga 30). Sedangkan dalam edisi kedua terdapat 5 jilid. Jilid 1 terdiri dari 4 surah pertama, jilid 2 terdiri dari 6 jilid berikutnya, jilid 3 terdiri dari 12 surah berikutnya, jilid 4 terdiri dari 17 surah berikutnya, dan jilid 5 terdiri dari 72 surah terakhir.
Pada edisi kedua, tafsir ini mengalami penyuntingan dalam segi bahasa dan uraian. Setiap ayat dijelaskan dengan merujuk kepada ayat dan hadis yang terkait, disertai dengan catatan kaki yang mencantumkan nomor hadis dan sumber kitab-kitab yang berkaitan. Ini membuat tafsir ini lebih komprehensif dan membantu pembaca untuk lebih memahami konteks dan makna ayat-ayat Al-Qur'an.
Latar Belakang Penulisan Tafsir
Latar belakang penulisan Tafsir Al-Nur adalah pandangan Hasbi ash-Shiddieqy yang kuat tentang pentingnya pemahaman Al-Qur'an dalam konteks perkembangan perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Ia menekankan bahwa Al-Qur'an adalah kitab suci yang menjadi landasan hukum dan pedoman utama dalam agama Islam. Pentingnya pemahaman bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya dalam Al-Qur'an juga ditekankan. Dalam konteks Indonesia, di mana banyak yang tidak memahami bahasa Arab, terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Indonesia dianggap sangat penting. Selain itu, Hasbi ash-Shiddieqy juga menyoroti pentingnya mengembangkan tafsir Al-Qur'an dalam bahasa Indonesia untuk membantu umat Islam di Indonesia memahami pesan-pesan dalam Al-Qur'an. Pembelajaran Al-Qur'an dan tafsirnya harus selaras dengan perkembangan zaman. Ditulisnya tafsir ini juga sebagai respon atas keprihatian terhadap pemahaman Al-Qur'an yang Penulis tafsir ini ingin memastikan bahwa Al-Qur'an tetap menjadi pedoman yang relevan dan dapat dipahami oleh umat Islam di Indonesia. Ini adalah upaya untuk membantu masyarakat Indonesia memahami pesan Al-Qur'an dengan benar dengan memperhatikan perkembangan zaman yang terus berlangsung.
Sumber Penafsiran, Metode, dan Corak Tafsir
Dalam menyusun tafsir al-Nur ini T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy banyak berlandaskan pada sumber-sumber ayat al-Quran, riwayat Nabi Saw., riwayat Sahabat dan Tabi'in serta mengutip dari rujukan mu'tabar, di antaranya Tafsir Jami' al-Bayan karya Ath-Thabari, Tafsir al-Quran al-Azhim karya Ibnu Katsir, tafsir al-Qurthubi, tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, dan al-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi. Tidak hanya tafsir klasik, tafsir ulama muta'akkhirin juga jadi sumber rujukan ash-Shiddieqy, seperti tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha, tafsir al-Maraghi, tafsir al-Qasimi, dan tafsir al-Wadhih. Selain kitab-kitab tafsir, ia juga merujuk kepada kitab-kitab induk hadis yang mu'tamad (dipercaya), semisal kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan kitab-kitab As-Sunan dan juga kitab-kitab sirah yang terkenal.10 Dengan banyaknya sumber rujukan yang digunakan dalam Tafsir al-Nur bukan berarti Hasbi hanya sekedar mengutip dari kitab-kitab tafsir tersebut, tetapi ia juga mengemukakan kesimpulan atau inti sari dari kitab yang dirujuk serta dalam beberapa tempat Hasbi juga menguatkan makna ayat tertentu dan mengemukakan sesuatu yang ia pahami dari al-Quran. Dalam sistematika penulisannya, kitab tafsir ini disajikan dalam bentuk tartib mushafy, yakni mengikuti urutan surah dalam mushaf mulai dari al-Fatihah hingga an-Nas. Kemudian metode yang ditempuh oleh Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam menafsirkan al-Quran ialah dengan menggunakan metode tahlili dan ijmali tergantung pada kebutuhannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran.11 Seperti dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat tertentu misalnya ayat tentang hukum syari'ah, ia menggunakan metode tahlili karena menafsirkan ayat-ayat tertentu secara luas. Terkadang dalam menafsirkan ayat Hasbi mengungkapkan hubungan/korelasi (munasabah) antar ayat dan menjelaskan maksud hubungan antara ayat tersebut. Menyebutkan asbab al-nuzul dan dalil-dalil dari rasul, sahabat, tabi'in, serta para ulama dan dikombinasikan dengan pendapatnya sendiri serta diwarnai dengan ilmu yang digelutinya.
Dalam Tafsir Al-Nur, kita dapat melihat pemikiran-pemikiran Hasbi dalam berbagai corak dan penafsiran yang berbeda. Tafsir ini memiliki cakupan penafsiran yang luas, dan beberapa orang menganggapnya memiliki corak penafsiran adabi-ijtima'i. Secara umum, hal ini dapat dipahami dari latar belakang penulisan tafsir ini, di mana Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy berusaha menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang ada di Indonesia, mencakup berbagai aspek. Jika kita melihat dari aspek dominasi kecendrungan, tafsir Al-Nur juga dapat masuk dalam kategori corak fiqhi.12 Ada beberapa alasan yang mendukung pandangan ini. Ketika Hasbi membahas ayat-ayat Al-Quran, ia cenderung mendalam pada ayat-ayat yang terkait dengan masalah hukum, seperti warisan, pernikahan, muamalat, dan sebagainya. Faktor lain yang mendukung pemikiran ini adalah bahwa Hasbi memiliki kecenderungan pemikiran yang sangat kuat dalam hal hukum atau fiqih, yang bisa dilihat dari banyak karyanya yang didominasi oleh pembahasan-pembahasan fiqih. Bahkan beberapa orang berpendapat bahwa tafsir Al-Nur ini memakai corak ilmi dalam penafsirannya.
Penulis:Zunita Lut Fiana Pangesti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H