Praktik tindak pidana korupsi di Indonesia adalah problematika kebangasaan yang sedari dulu belum bisa dituntaskan secara maksimal, korupsi menjadi parasit mematikan akan stabilitas penyelengaraan negara dimana bisa menciptakan krisis multidimensi seperti yang terjadi dipenghujung era orde baru.
Gerakan reformasi tahun 1998 bisa diibaratkan merupakan jalan operasi caesar atau upaya luarbiasa, upaya biasa tidak dilakukan karena keadaannya sangat luar biasa yakni praktik rasuah yang sudah menjangkit di segala lini kehidupan masyarakat Indonesia di era otoritarian saat itu.
Perjuangan reformasi dengan membawa tuntutan Pemberantasan KKN dilanjutkan dengan praktik Politik Hukum Pemberantasan Korupsi di DPR yang membuahkan hasil dengan terbitnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat substansi materi pemberantasan korupsi.
Dilengkapi dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memuat prosedur pemberantasan korupsi secara luarbiasa (extraordinary), serta memperintah untuk membentuk suatu lembaga independen anti korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.
Menyusul pada tahun 2006 dibentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003 Melalui Undang-Undang No. 7/2006, dengan diberlakukanya undang-undang ini pemerintah Indonesia meratifikasi United Nations Convention Against Corruption, UNCAC (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi -2003). Otomatis, Indonesia wajib mengimplementasikan ketentuan UNCAC secara penuh.
Pemberlakuan beberapa produk hukum diatas merupakan upaya Politik Hukum dari pemerintah untuk memberantas korupsi di bumi nusantara, seperti yang penulis kemukakan dalam tulisan sebelumnya bahwa hukum harus mengabdi dan membahagiakan manusia.
Tetapi seiring berjalannya waktu cita-cita masyarakat untuk terciptanya suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas korupsi, pada tahun 2019 diredupkan dengan terjadinya tindakan-tindakan terstruktur dan sistematis untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi, mulai dari teror terhadap penyidik dan pegawai KPK, pemilihan calon pimpinan KPK yang dinilai kompromistis dan berujung dengan di Revisinya UU KPK, yang dimana mempengaruhi status kelembagaan yang independen dan perubahan beberapa tupoksi yang dinilai tidak akan efektif dalam upaya memerangi korupsi.
Dari aspek hukum, upaya pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan membentuk suatu Politik Hukum Pemberantasan Korupsi yang mematuhi prinsip-prinsip demokratis dan nomokratis, yaitu dengan membentuk suatu kebijakan hukum atau politik hukum (legal policy) yang subtansi materinya bersifat aspiratif atau sesuai dengan kebutuhan pemberantasan korupsi dilapangan dan memberikan ruang partisipatif kepada pemangku kepentingan (stakeholder) dalam proses pembentukan kebijakan hukum pemberantasan korupsi, serta rangkaian prosedural yang sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Jika kita merujuk pada definisi Politik Hukum yang dikemukakan Moh. Mahfud MD, Politik Hukum adalah arah kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Dalam pengertian ini hukum ditempatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, meskipun di dalam pengertian tersebut hukum dikatakan sebagai alat, di dalamnya terletak hakikat supremasi hukum, sebab hukum sebagai alat di dalam pengertian itu adalah alat untuk mencapai tujuan negara, bukan alat rekayasa politik (political engineering) seperti yang dikenal di dalam starategi pembangunan hukum yang ortodoks.
Dalam konteks Hukum (undang-undang) adalah produk politik, karena lahirnya undang-undang lewat kristalisasi atas resultante atau kesepakatan atas kehendak politik di DPR. Mahfud membedakan secara diametral corak atau konfigurasi politik menjadi dua kutub yang berbeda yaitu konfigurasi politik demokratis yang diartikan sebagai susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisIpasi masyarakat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Sementara konfigurasi politik yang kedua adalah konfigurasi politik otoriter diartikan sebagai susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara.
Pembagian konfigurasi politik kedalam corak demokratis dan otoriter tersebut kemudian berimplikasi terhadap karakter produk hukum yang dihasilkannya. Pada konfigurasi politik demokratis, karakter produk hukumnya adalah responsif/populistik yang diartikan sebagai produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.