"Perbedaan itu fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan." -Gus Dur
Perbedaan adalah identitas bangsa Indonesia. Indonesia merupakan bangsa yang beragam yang disatukan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Berbeda-Beda Tetapi Tetap Satu. Semboyan tersebut merupakan kesepakatan bapak-bapak bangsa kita saat pendirian negara kita. Semboyan itu ada sebagai pengingat meskipun bangsa Indonesia sangat kaya akan keberagaman, kita  adalah satu, bangsa Indonesia.
Sayangnya, bangsa Indonesia seakan lupa akan semboyan tersebut. Semboyan yang mengingatkan pentingnya menghargai perbedaan-perbedaan yang ada diantara kita. Hari-hari ini seringkali kita menemukan kasus-kasus intoleransi yang terjadi di sekitar kita. Salah satu contohnya adalah pada bulan Mei kemarin, di mana mahasiswa Katolik dari Universitas Pamulang yang sedang mengadakan ibadah Rosario digeruduk oleh warga. Mereka dipukuli lalu dibubarkan oleh warga setempat dengan membawa sajam.Â
Ada banyak kasus-kasus intoleransi lain yang telah terjadi di Indonesia. Kasus-kasus ini terus mengikis kebhinekaan bangsa kita. Karena kasus-kasus ini membuat kita semakin berprasangka buruk antara satu sama lain.Â
Hal itu juga terjadi pada saya. Saya memiliki prasangka negatif tersebut dengan mereka yang berbeda kepercayaan dengan saya. Saya sering memandang mereka dengan pandangan yang tidak begitu baik. Karena saya berpikir mereka akan menjauhi saya dan tidak menerima saya dengan kepercayaan yang saya anut.Â
Satu bulan yang lalu, saya memiliki kesempatan untuk mengikuti Ekskursi. Yaitu kegiatan tinggal bersama dengan para santri di pondok pesantren. Kesempatan ini merupakan kesempatan pertama saya untuk benar-benar merasakan hidup bersama dengan teman-teman beragama Muslim yang memiliki kepercayaan lain dengan diri saya.Â
Prasangka tersebut tetap ada di diri saya, prasangka bahwa saya tidak diterima dengan baik. Apa pendapat mereka terhadap saya? Bagaimana pandangan mereka terhadap saya, terutama kepercayaan saya? Apakah saya akan diterima dengan baik? Pikiran tersebut terngiang dalam lamunan saya selama berada di bis dalam perjalanan menuju pondok pesantren.Â
Lamunan tersebut buyar ketika rombongan saya sampai di Ponpes Darul Falah. Saya harus menghadapi realita bahwa saya harus mengikuti seluruh dinamika kegiatan ini sepenuhnya. Saya siap menerima apapun yang akan terjadi di sana.Â
Ketika kami masuk ke dalam Pondok Pesantren Darul Falah, kami disambut dengan meriah oleh semua santri dengan meriah. Kami melihat bahwa para santri menerima kami dengan hangat dengan senyuman yang terlihat jelas. Kami kemudian mengikuti acara sambutan.Â