Guru Besar adalah gelar yang diberikan kepada seseorang atas kontribusi besar mereka di bidang keilmuannya. Pengukuhan Guru Besar adalah sebuah hal yang sakral dalam dunia pendidikan. Penodaan proses pengukuhan sama saja menodai dunia pendidikan kita.
Sebelas dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat telah dicabut gelar guru besarnya akibat kasus dugaan rekayasa syarat-syarat permohonan guru besar. Kasus ini telah memantik sebuah pertanyaan besar mengenai sudah berapa banyak kecurangan dalam proses permohonan gelar guru besar. Para akademisi yang tergabung dalam Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum telah mendesak Mendikbud Ristek untuk menyelesaikan masalah ini.Â
Kejadian ini diduga tidak hanya terjadi di ULM, menurut Idhamsyah Eka praktik ini sudah mendarah daging. "Ada yang mengambil sampel acak saja, ada 500 orang yang sudah diajukan menjadi guru besar dan lolos. Kami, saya dan beberapa teman-teman diminta untuk screening orang-orang yang sudah lolos ini secara kualitas bagaimana. Ternyata diambil 100 saja, ternyata jelek. Kualitasnya kacau." Â ucap Eka kepada media bbc. [1]
Salah satu akar masalah dari polemik ini adalah syarat publikasi ilmiah yang menjadi salah satu syarat menjadi guru besar adalah memiliki satu artikel ilmiah yang digunakan oleh suatu jurnal. Syarat ini seringkali diakali menggunakan cara-cara licik dengan membayar jurnal predator untuk menggunakan artikel ilmiah mereka dalam sitasi pembuatan jurnal ilmiah. Hal ini merupakan permasalahan fundamental yang ada di sistem pendidikan Indonesia. Mulai dari mahasiswa hingga akademisi di Indonesia tidak terbiasa untuk melakukan riset dan merilis artikel ilmiah. Faktor yang menyebabkan kejadian ini disebabkan kurangnya infrastruktur dan pendanaan yang memadai dalam bidang riset di Indonesia.Â
Hal ini seturut dengan yang disebutkan Arief Anshory, kepada media bbc.com "Salah satu indikator kebaikan ekosistem riset adalah penelitiannya valid dan memberi kemaslahatan. Salah satu unsur supaya ilmu itu memberi kemaslahatan, adalah ilmu itu harus diuji orang. Salah satu caranya adalah dengan mempublikasikan di jurnal. Mempublikasikan di jurnal itu bukan gaya-gayaan. Itu adalah menguji temuan kita, diuji orang lain. Jurnal ini adalah proses penelitian, sebagai syarat yang harus dilakukan. Dosen-dosen di Indonesia belum terbiasa membuat publikasi di jurnal-jurnal. Tetapi kemudian Kemendikbud mensyaratkan untuk jadi profesor harus ada jurnal. Karena enggak terbiasa, risetnya enggak ada, dana risetnya kurang, ya sudah jalan pintas. Ada demand, ada supply. Terjadi lah kejahatan ini." [2]
Dampak dari masalah ini cukup besar sebab masalah ini turut memperkeruh sektor pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena para guru besar yang menjadi pionir dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidangnya. Jika seorang yang tidak berkompetensi menjadi guru besar, maka bisa saja dengan otoritas yang ia miliki menyebarkan informasi yang salah. Jika dari hulu saja ilmu tersebut sudah salah, bagaimana ilmu tersebut saat di hilir dan beredar di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H