Mohon tunggu...
partokenthir
partokenthir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Seks dan Hak Asasi Tuhan (HAT)

4 Mei 2016   14:14 Diperbarui: 4 Mei 2016   14:31 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-Kenapa Indonesia yang sudah memiliki nilai-nilai luhur sejak zaman Nusantara yang berbicara mengenai moral dan etika lalu dianggap seakan-akan tidak punya moral oleh kaum modernis? Malah dibilang primitif?

-Kenapa agama yang mengajarkan kebaikan dan melarang kejahatan dianggap tidak logis? Bagaimana kita tahu itu tidak logis? Mungkin membaca kitab suci yang tebal itu saja malas tapi tahu-tahu sudah menyimpulkan tidak logis. Mencoba “memahami” alam sekitar saja dan diri sendiri ini saja malas apalagi baca perkataan Tuhan yang tertulis?

Cara mendengar atau memahami Hak Asasi Tuhan (HAT) itu bagaimana? seperti yang baru dijelaskan, bukankah sudah ada yang namanya Kitab Suci? Bukankah sudah ada alam raya? Bukankah sudah ada diri kita? Bukankah hak-hakNya bisa dipahami secara teks ataupun kontekstual sekalipun kita tidak mau membaca kitab suci? Bila dalam Islam, bukankah sudah ada larangan berzina di Quran? Hukum syariatnya pun tak main-main mengenai masalah ini. Sekali lagi saya ingin tahu, apakah kita takut mencoba membaca dan memahaminya (Secara teks dan konteks) karena tidak ingin bahwa hak-hakNya bertentangan dengan hak-hak kita? 

Ketika permasalahan  penyimpangan Seks (pemerkosaan) dianggap kesalahan yang sudah membudaya / menjadi budaya, berarti ada yang salah dengan cara kebiasaan kita, berarti ada pula kesalahan pada cara berperilaku kita, berarti ada pula yang salah dengan cara berpikir kita, berarti ada pula yang salah dengan cara menerima hal-hal dari luar.  Kalau ini sudah menjadi masalah budaya maka ini bisa menjadi masalah peradaban.  Atau jangan-jangan kita semua ini sedang salah membangun Peradaban kali ya?  Jadi apakah atau dimanakah yang salah hingga  kita ini kok seakan-akan hanya berputar-putar saja seperti "Tong Setan".

Bila digambarkan fase-fasenya, maka seperti ini kira-kira:

Gagasan-gagasan (Baik/buruk) --> cara menerima (disaring atau tidak) --> cara berpikir (cara berpikir yang salah maka akan melanjutkan kesalahan-kesalahan pada fase berikutnya seperti konsep snowball) --> menjadi perilaku --> menjadi kebiasaan --> menjadi kebudayaan --> menjadi peradaban.

kalau benar kita ini sedang membangun peradaban yang salah, maka Rest in Peace untuk Indonesia yang sudah membunuh dirinya sendiri. Kalau kata Nietsche: Indonesia ist Tot! Indonesia sudah mati! Indonesia is Dead! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun