Tidak terasa, dalam beberapa bulan ke depan, masyarakat di banyak daerah akan kembali diperhadapkan dengan ritual penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di kabupaten / kota dan provinsi masing-masing, khusus daerah kabupaten / kota dan provinsi yang jabatan bupati / walikota dan gubernurnya boleh dikata berbarengan selesai masa bhaktinya. Penyelenggaraan pilkada 2015 ini akan sedikit agak berbeda dengan yang sudah-sudah. Pemilihan dimaksud akan diselenggarakan dengan sekaligus /serentak dan tidak lagi berjalan sendiri-sendiri seperti terjadi selama ini. Namun demikian, jelas masih dibutuhkan pengkajian lebih jauh, sebab penyelenggaraan pilkada serentak ini secara teknis, dapat dikatakan masih melulu dimaksudkan hanya dalam rangka efisiensi dana dan waktu yang diperlukan, belum menyentuh hal paling mendasar dan substansial dari sebuah konsep demokrasi modern, yaitu sebagai sebuah sistem yang mampu menjadi wahana pendidikan politik yang baik berupa optimalisasi peran serta dan partisipasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana yang menjamin tampil dan teroilihnya seorang pemimpin terbaik dan berkualitas.
Di tengah rasa apatisme masyarakat yang cenderung menaik dewasa ini, tanpa dihadirkannya sebuah proses pendidikan politik yang baik, mustahil memang mengharapkan terbangunnya sebuah kesadaran bersama (common sence) akan arti penting suara mereka yang akan menjadi penentu utama bagi dihasilkannya seorang pemimpin ideal, yaitu pemimpin yang mampu memanej, mengkomunikasikan dan mewujudkan kebutuhan bersama sebuah kelompok masyarakat, berupa terselenggara dan terpenuhinya kebutuhan publik secara optimal, bukan kebutuhan perorangan, kelompok, apalagi pribadi si pemimpin. Dan yang tidak kalah berbahayanya, sikap apatis dimaksud akan sangat rentan dan memberi ruang bagi munculnya para avontur yang menginginkan kekuasaan yang ada dan berupaya meraihnya dengan menempuh berbagai cara yang  selanjutnya memanfaatkannya semata bagi kepentingan pribadi atau kelompoknya - sebuah kondisi yang baik secara jangka pendek, menengah dan panjang tentunya akan merugikan masyarakat itu sendiri. Oleh itu, untuk mencegah terjadinya kondisi dimaksud, terasa penting untuk membangun sebuah kesadaran publik bahwa suara mereka dalam sebuah konteks penyelenggaraan pilkada adalah kunci bagi kotak pandora yang berisi malaikat atau bajingan untuk selanjutnya kepada si terpilih akan diberikan kekuasaan dalam suatu jangka waktu tertentu untuk mengatur berbagai hal terkait kepentingan publik di sebuah wilayah pemerintahan.
Kota Pematangsiantar merupakan salah satu kota tertua di Provinsi Sumatera Utara yang cukup heterogen dengan masyarakatnya yang terkenal sangat kritis. Sebuah kota yang di era dari kemerdekaan hingga tahun 80-an dikenal sebagai kota pelajar yang diminati berbagai kalangan orangtua dari daerah lain di seantero Sumatera Utara, bahkan hingga ke provinsi diluarnya sebagai tempat ideal untuk menyekolahkan anak-anak mereka hingga tingkat sekolah menengah atas. Sebuah predikat atau ikon yang setelah era delapanpuluhan kemari, bukannya menjadi semakin berkibar tetapi justru kini sangat dipertanyakan eksistensinya. Disamping itu, hal penyelenggaraan penataan kota / tata ruang kota, sisi ini pun Pematangsiantar sepertinya jauh tertinggal, baik ketika itu diperbandingkan dengan banyak ibukota kabupaten / kota lainnya di wilayah Sumatera Utara yang sebelum maraknya politik pemekaran wilayah. Kota-kota yang tadinya hanyalah berstatus sebagai ibukota setingkat pemerintahan kecamatan, setelah pemekaran dan statusnya naik menjadi ibukota kabupaten / kota, kota-kota dimaksud kini kondisinya jauh lebih baik, maju dan tertata bagus dibandingkan dengan kondisi Pematangsiantar. Ketimpangan penataan dan pembanguan itu semakin terasa, apalagi jika diperbandingkan dengan kota-kota lain yang statusnya setingkat ketika di era sebelum reformasi, Pematangsiantar itu jelas sangat jauh ketinggalan saat ini. Tambah tahun, bukannya semakin bersolek dan tambah molek, yang ada, Pematangsiantar itu dalam banyak hal semakin runyam dan kusut masai. Tentu, semua ini terjadi bukan karena Pematangsiantar itu kondisi awalnya sudah seperti benang kusut yang tidak terperbaiki lagi, bukan. Degradasi berbagai bidang yang kini terjadi dan nyata terlihat di kota ini, semua itu tidak terlepas dari siapa dan bagaimana karakter, wawasan dan tentu kemampuan manajerial orang-orang yang pernah menjadi pemimpinnya. Kemajuan sebuah negara dan dalam skala yang lebih kecil, sebuah kota, itu jelas sangat tergantung pada karakter dan kemampuan manajerial yang terangkum dalam bentuk dan pola kepemimpinan atau leadership seseorang yang menjadi pimpinan puncak pada organisasi / lembaga stake-holder terkait. Buruk pemimpinnya maka buruk jugalah kota yang dipimpinnya, dan sebaliknya, bagus pemimpinnya maka akan bagus jugalah kota dan masyarakat yang dipimpinnya, ini sebuah adagium dalam sosiologi perkotaan yang tak terbantahkan. Dan di era demokratisasi sekarang, dimana masyarakat berhak untuk menentukan sendiri siapa yang akan menjadi pemimpin di daerahnya, bisa dipastikan, bagus jeleknya kualitas seorang pemimpin yang dihasilkan, hal ini juga sangat tergantung pada bagaimana sikap, common sense dan cara pandang serta visi bersama yang dimiliki masyarakat tempat diselenggarakannya sebuah pemilihan.
Dalam sebuah sistem pemilihan yang cenderung mengedepankan syarat formal administratif, yakni sebuah kondisional yang memungkinkan bagi siapa saja boleh mencalonkan diri baik secara dependen maupun sebagai calon independen dalam sebuah pemilihan yang diselenggarakan, sistem tersebut juga sekaligus memiliki sisi buruk, berupa terbukanya peluang bagi segala macam dan tipikal orang untuk ikut serta dan ambil bagian di dalam pemilihan tersebut, tak perduli itu begal, rampok, koruptor dll - selama tidak ada masalah administratif, ada dukungan, boleh dan sah untuk ikut mendaftarkan diri sebagai kandidat. Sebuah kondisi anomali yang dirasa cenderung tidak kontributif dan akomodatif dalam upaya untuk memperoleh pilihan terbaik dari yang baik, yang apalagi ketika itu bersinergi dengan meluasnya apatisme di kalangan masyarakat, yang bisa dipastikan cepat atau lambat, alamat hancurlah kota dan masyarakat yang ada sebab bakal dipimpin oleh seorang yang tidak memiliki kompetensi, yang terpilih lewat cara-cara memalukan seperti money politics misalnya. Oleh itu, terkait dengan penyelenggaraan pilkada yang sebentar waktu lagi serentak akan dilangsungkan, termasuk juga di Pematangsiantar, dirasa perlu adanya upaya lebih nyata dari berbagai pihak yang menginginkan agar kota ini bisa kembali ke kejayaan masa lalu, menjadi sebuah kota pendidikan sekaligus sebagai pemukiman yang nyaman bagi warganya. Upaya dimaksudkan adalah berupa semacam pendidikan politik yang ditujukan untuk membangun kesadaran masyarakat akan betapa pentingnya peranan mereka dalam akan menentukan siapa yang hendak didudukkan nanti di barisan terdepan dalam kerangka upaya membangun tempat mereka hidup dan bermukim ke arah yang lebih baik.
Hingga saat ini, karena masih dalam proses penjaringan dan pendaftaran para bakal calon, belum diketahui sosok-sosok atau kandidat bakal calon yang akan ikut dalam pemilihan dimaksudkan nantinya. Dan seperti yang disampaikan sebelumnya, sistem yang ada saat ini, jelas sangat terbuka dan membuka peluang selebar-lebarnya bagi siapa saja untuk ikut mendaftar, sehingga tidak tertutup kemungkinan, dari mulai kandidat yang seperampat, setengah dan bahkan sepenuhnya bajingan, atau berfungsi hanya sekadar sebagai bemper pemecah ombak atau breaking waves bumper -  selama ybs dapat memenuhi persyaratan formal yang ditentukan, terbuka lebar baginya peluang untuk menjadi orang nomor satu Pematangsiantar, minimal bisa lolos dalam langkah awal untuk dapat sampai kesan. Oleh karena itu, masyarakat sebagai filter lanjutan yang akan sangat menentukan hasil akhir, yang pada gilirannya nanti akan menjadi users, peran serta dan kritismenya sangat diharapkan. Baik buruknya calon walikota Pematangsiantar yang akan terpilih, selanjutnya mutlak akan ditentukan oleh pilihan mereka. Dalam konteks ini, saya berharap agar masyarakat Pematangsiantar dapat bersumbangsih terbaik dengan cara memilih calon dengan kualifikasi "Masyarakat dan Kota Pematangsiantarlah yang akan dirugikan jika yang bersangkutan tidak terpilih, bukan sebaliknya si calon bersangkutan"...
Saya yang kebetulan mengenal salah satu calon, sangat merekomendasikan sosok bung Teddy Robinson Siahaan yang populer dengan sebutan TRS. Menurut hemat saya, yang bersangkutan merupakan sosok / profil yang tepat dan memenuhi kriteria tersebut diatas, yaitu warga Siantar akan rugi jika yang bersangkutan tidak terpilih dalam pilkada nanti, bukan bung TRS-nya.  Dasarnya sederhana saja, track record, karir, pengalaman dan kemampuan manajerial serta leadership yang bersangkutan yang saat ini menjabat sebagai salah satu direktur di BUMN PT. Kawasan Berikat Nusantara atau KBN, sudah teruji dalam berbagai jabatan dan kancah yang pernah dijalaninya, baik di lingkungan perusahaan-perusahaan swasta maupun milik negara yang pernah ditanganinya. Kelebihan lainnya yang dipunyai bung TRS yang sekaligus juga merupakan kelemahan dari banyak kepala daerah terpilih yang ada di Sumatera Utara, kemampuan dalam hal membangun jaringan. seorang kepala daerah, sehebat apapun visi misinya dalam upaya pembangunan masyarakat dan daerah yang diaturnya, tanpa didukung oleh jaringan yang luas baik secara vertikal maupun horisontal, bisa dipastikan bahwa program program yang direncanakan, di tataran operasional akan banyak mengalami kendala. Dan dengan latar belakang berbagai jabatan yang diembannya dan juga keluwesan dalam bergaul, bung TRS ini boleh dikatakan, yang bersangkutan mengenal dan berteman baik dengan banyak pihak yang pastinya nanti peranan mereka akan sangat dibutuhkan dalam ketika yang bersangkutan menyelenggarakan tugas tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang diembannya. Demikian juga di level internasional, bung TRS ini banyak dikenal dan cukup familiar di kalangan pengusaha manca negara - sebuah nilai plus yang tentu nantinya dapat dan akan menjadi modal dasar utama dan sangat berguna bagi dirinya ketika menjabat sebagai walikota yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan Kota Pematangsiantar ke arah yang lebih baik.
Akhirnya, tentu segala sesuatunya berpulang kembali pada secerdas dan sepintar apa masyarakat Kota Pematangsiantar dalam menentukan pilihan politiknya di pilkada mendatang. Apakah akan memilih loyang atau emas, apakah akan memilih bajingan atau malaikat, atau memilih katak di bawah tempurung yang banyak bicara, bermulut besar dan berlagak hebat tapi NATO alias no action but talk only, atau seseorang yang cerdas, berpengalaman dan memiliki jaringan yang luas. Apa pun pilihannya, semua ini nanti sepenuhnya berada di tangan masyarakat / warga Kota Pematangsiantar.
Let's be smart people by smart choices
Â
  Â