Mohon tunggu...
Andrea K. Iskandar
Andrea K. Iskandar Mohon Tunggu... -

Curious mind. INTJ. Bibliophile. @IDCourserians co-founder & partner. Let's connect on www.paroikos.org.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Hanya Pengemudi Moge yang Sombong?

19 Agustus 2015   06:28 Diperbarui: 19 Agustus 2015   06:28 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini sedang marak (lagi) di media sosial tentang serombongan pengemudi motor gede (moge) yang konon berlaku semena-mena di jalan-jalan Yogyakarta. Tetapi bukankah ini fenomena yang sebenarnya sangat lazim kita jumpai setiap hari? 

Berapa banyak pengemudi sepeda motor yang menyerobot hak pejalan kaki dengan seenaknya menggunakan trotoar? Terkadang mereka bahkan tak sungkan-sungkan mengklakson dan memaki pejalan kaki yang menurut mereka menghalangi laju mereka di atas trotoar.

Hal yang sama berlaku juga di zebra cross. Pejalan kaki seolah adalah warga dengan kelas di bawah pengemudi mobil dan motor yang harus selalu mengalah, bahkan di atas zebra cross. Jika Anda tidak berlari saat menggunakan zebra cross, seringkali akan ada pengemudi yang mengklakson atau memaki Anda karena mereka menganggap zebra cross adalah sebuah hambatan bagi perjalanan mereka dan pejalan kaki harus pamit kepada pengguna kendaraan bermotor sebagai yang lebih berhak menggunakan ruang itu.

Belakangan ini mulai muncul zebra cross yang dilengkapi dengan lampu lalu lintas yang diaktifkan oleh pejalan kaki. Setelah tombol aktivasi dipencet, lampu merah akan menyala dan sirine juga akan menyalak dengan nyaring untuk memperingatkan pengemudi agar berhenti. Ini disebut pelican cross. Tetapi, seberapa efektif pelican cross ini? Coba Anda gunakan pelican cross dan lihat berapa banyak pengemudi mobil maupun motor yang berhenti. Kalau beruntung, Anda akan bertemu dengan pengemudi yang sengaja memacu kendaraanya memepet Anda saat Anda menyeberang karena berani mengganggu perjalanan mereka.

Tidak selamanya pengemudi kendaraan yang menjadi pelaku; terkadang mereka juga menjadi korban. Bagaimana dengan orang-orang yang menutup jalanan untuk dipakai untuk keperluan pribadi? Hampir setiap minggu di Jakarta saya menjumpai jalanan yang ditutup, entah untuk pesta atau sekedar untuk bermain bola – dan lebih parah lagi, terkadang jalan-jalan ini ditutup tidak mulai dari mulut jalan, tetapi dari pertengahan jalan sehingga menyulitkan para pengemudi untuk berputar dan mencari jalan alternatif.

Saya pikir permasalahan utamanya bukan soal siapa yang sombong. Akar permasalahan yang lebih dalam adalah: banyak orang menganggap jalanan adalah hak milik mereka dan mereka boleh berlaku sesuka hati mereka. Daripada mencaci maki orang lain, ada baiknya kita masing-masing melakukan introspeksi bagaimana perilaku kita terhadap jalanan-jalanan dan saat kita berada di jalanan, yang notabene adalah milik umum, milik bersama, tetapi bukan milik pribadi.

Di antara orang-orang yang mencaci maki para pengemudi moge dengan perilaku arogan mereka saya yakin ada juga orang-orang yang di atas kuda besinya terbiasa menyerobot pejalan kaki; orang-orang yang dari balik kemudinya terbiasa menginjak pedal gas saat lampu kuning menyala, tanpa mempedulikan pejalan kaki yang hanya mempunyai waktu terbatas untuk menyeberang; orang-orang yang menganggap sepetak jalan di depan tempat tinggalnya sebagai perpanjangan dari propertinya tanpa mempedulikan orang-orang lain yang juga butuh lewat jalan itu.

Jalanan-jalanan kita yang penuh masalah adalah jalanan-jalanan kita. Masalah-masalah itu juga adalah masalah kita. Itu adalah masalah kita, karena kita menjadi korban; tetapi itu adalah masalah kita, juga karena kita ikut andil menyebabkan masalah itu. Mari kita menghargai hak orang lain di jalanan. Hargai hak pejalan kaki. Hargai hak pengemudi lain. Hargai semua properti publik. Properti publik ada untuk digunakan bersama, bukan untuk dimonopoli siapa pun.

Mungkin kita membenci para pengemudi moge karena mereka, dengan arak-arakan tunggangan mahal mereka, telah berhasil menyuguhkan sebuah visualisasi adiluhung dari satu bentuk kecongkakan yang kita tahu juga ada dalam diri kita, para pengguna jalan yang tak sedikit pun sungkan mengklaim hak kita atas jalanan di depan mata kita ketika kesempatan itu disodorkan kepada kita. Tapi saling klaim dan saling tuding tak akan ada habisnya toh?

Mau melihat perubahan? Jangan tunggu konvoi moge lewat di depan kita baru kita tiba-tiba mempunyai nilai luhur dan rasa keadilan terhadap sesama pengguna jalan. Kalau kita sungguh mempunyai nilai luhur dan rasa keadilan itu, mari kita tunjukkan sewaktu kita berada pada pihak yang berkuasa untuk merenggut hak itu dari pengguna jalan lain.

 Tulisan ini pernah diterbitkan di www.paroikos.org.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun