Mohon tunggu...
Parni Hadi
Parni Hadi Mohon Tunggu... -

Wartawan, Guru, Aktivis Sosial, Budaya dan Lingkungan serta Pramuka sejak muda, Pendiri/Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa, Mantan Pemred REPUBLIKA dan ANTARA, Mantan Dirut RRI, Ketua DNIKS, Ketum IRSI, Ketum Paguyuban Pawitandirogo, Anggota Dewan Pertimbangan PPDI, Ketua IPHI dan Rektor Sekolah Bisnis Umar Usman

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sabuk Pengaman Informasi Perbatasan NKRI

9 April 2014   00:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:53 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Teks kutipan: Sabuk Penga­man Informasi perlu dukungan semua pihak yang peduli dengan masalah perbatasan, jika kita tidak ingin wilayah NKRI dicaplok negara tetangga dan atau saudara-saudara kita pindah menjadi warga negara tetangga yang lebih makmur.

“Apa kabar”. Itulah pertanyaan pertama orang Indone­sia ketika berjumpa atau berkomunikasi lewat surat atau tilpun dengan seseorang yang telah lama tidak bertemu dan bertegur sapa. Pertama-tama, yang ditanyakan “kabar”, bukan hal lain. Ini berarti orang Indonesia sangat sadar akan pentingnya kabar atau informasi.

Tentang pentingnya informasi sudah lama disadari oleh para cerdik-pandai Indonesia. Buktinya, mereka telah merumuskan pembangunan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan atau knowledge-based society. Lha, ilmu pengetahuan itu kan pada dasarnya berupa informasi. Kenyataannya, banyak orang Indo­nesia belum memperoleh informasi yang diperlukan, terutama mereka yang tinggal di perbatasan dan daerah terpencil.

Menyadari hal itu, sewaktu mengemban amanah sebagai Dirut Radio Republik Indonesia (RRI), periode 2005-2010, saya mencanangkan pogram Sabuk Pengaman Informasi atau Infor­mation Safety Belt. Sebuah sabuk imajiner yang melingkari selu­ruh wilayah NKRI. Bentuknya, siaran perbatasan yang didukung dengan penguatan pemancar dan pendirian studio produksi, yang kemudian menjadi stasiun RRI, di sepanjang daerah per­batasan mulai Sabang sampai Merauke.

Studio produksi, bukan stasiun relay. Alasannya, stasiun produksi dapat membuat program siaran, terutama untuk berita, siaran pendidikan dan dialog interaktif yang melibatkan masyarakat setempat, sehingga “suara” mereka dapat didengar oleh orang-orang di luar daerah, terutama para pengambil kepu­tusan di kota-kota, khususnya Jakarta. Sedangkan stasiun relay bersifat satu arah, hanya meneruspancarkan siaran dari stasiun yang jauh. Orang-orang perbatasan cuma dapat mendengarkan saja.

Alhamdulillah, dalam waktu dua tahun telah terbangun 16 studio produksi di wilayah perbatasan, daerah terpencil dan daerah strategis yang perlu dilayani siaran RRI dengan baik, ter­masuk Takengon, Sabang, Batam, Entikong, Malinau, Nunukan, Ampana, Atambua, Skow, Oksibil, Boven Digul, dan Kaimana. Dirut RRI penerus saya, ibu Rosanita Niken Widiastuti, menam­bahi lagi dengan Aceh Singkil, Sendawar, Saumlaki, Mappi dan Puncak Jaya. Studio produksi itu melengkapi pelayanan stasiun-stasiun RRI di kota-kota besar terdekat.

Sebagai wartawan sejak awal 1973 saya sering mengunjungi wilayah perbatasan dan daerah terpencil. Nyata benar bedanya kondisi daerah-daerah itu dengan perkotaan, terutama di Pu­lau Jawa. Hal mencolok terlihat di perbatasan dengan Malay­sia. Kondisi jalan, pasar dan bangunan kantor pemerintah dan rumah penduduk di Entikong jauh berbeda dengan di Tebedu, yang masuk Negara Bagian Serawak, Malaysia. Batam, yang te­lah berkembang menjadi kota industri pun, masih jauh dibandingkan dengan Singapura. Untuk perbatasan dengan PNG, kita boleh merasa lebih baik.

Sabuk Pengaman Informasi juga membantu tugas TNI dalam menjaga perbatasan NKRI. Bayangkan, berapa ribu tentara harus dikerahkan untuk menjaga sepanjang perbatasan NKRI dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, yang dua ribu kilometer panjang­nya, jika setiap satu km ada satu pos militer. Belum lagi, medan­nya sulit karena wilayah itu berupa hutan dan gunung. Apalagi, perang di era modern lebih sering berbentuk “perang informasi”, daripada perang fisik. Hal serupa berlaku di perbatasan Papua dengan negara-negara tetangga.

Karena ketiadaan atau kekurangan informasi tentang Indonesia yang diproduksi anak negeri dan dengan versi NKRI, membuat saudara-saudara kita di perbatasan lebih menge­nal pemimpin dan produk negara tetangga, karena negara tetangga yang lebih makmur sengaja “membombardir” wilayah NKRI dengan informasi versi mereka. Jadi, jangan gampangan menuduh saudara-saudara kita di perbatasan tidak memiliki na­sionalisme.

Radio untuk daerah perbatasan dan terpencil merupakan sa­rana komunikasi yang paling efektif karena harganya murah dan fleksibel, dapat didengarkan di mana saja dan kapan saja. Tentu, informasi yang berasal dari stasiun televisi dan media cetak juga sangat diperlukan, tapi tidak banyak pengusaha kita yang ter­tarik untuk menjadi perintis penyedia informasi di daerah per­batasan.

Akhirul kalam, saya bersaksi daerah yang miskin informasi ternyata juga miskin dalam prasarana perekonomian. Akibat­nya, penduduknya juga miskin, walau daerahnya memiliki po­tensi sumber daya alam yang melimpah. Informasi yang disiap­kan sesuai dengan sasaran dapat menjadi penghela perubahan masyarakat menuju keadilan dan kemakmuran. Sabuk Penga­man Informasi perlu dukungan semua pihak yang peduli dengan masalah perbatasan, jika kita tidak ingin wilayah NKRI dicaplok negara tetangga dan atau saudara-saudara kita pindah menjadi warga negara tetangga yang lebih makmur.

Dompet Dhuafa dan RRI telah sepakat membuat program pemberdayaan masyarakat berbasis radio di wilayah perbatasan. Ayo, siapa ikut bergabung?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun