Sekarang kata kebangkitan menjadi jargon yang populer. Apalagi dalam bulan Mei yang sudah kita jadikan bulan Kebangkitan Nasional, merujuk pada pendirian organisasi gerakan Boedi Oetomo (BO), tanggal 20 Mei, 1908.
BO bertujuan membangun kesadaran berbangsa untuk melawan penjajah Belanda tidak dengan mengangkat senjata, tetapi dengan menggunakan kekuatan pikiran. Salah satu caranya adalah “mengangkat pena” atau menulis gagasan-gagasan yang kemudian disebarluaskan melalui penerbitan untuk mempengaruhi dan menghimpun kekuatan.
Mengacu niat BO, 90 tahun kemudian pada awal gerakan reformasi, tepatnya tahun 1998 muncul gerakan “Indonesia Bangkit”. Karena tidak juga bangkit-bangkit, sekelompok orang yang sinis dan skeptis mengatakan, yang terjadiadalah “Indonesia Bangkrut”.
Pada awalnya, setelah BO berdiri, istilah yang dipakai adalah “kebangoenan” (kebangunan), bukan kebangkitan. Masuk akal juga sih, jika bangsa ini diibaratkan sebagai orang yang sedang tidur, maka harus bangun dulu, baru kemudian bangkit.
Sekarang banyak salah kaprah akibat kerancuan nalar dalam menggunakan kata bangkit.Salah satu contohnya adalah bunyi spanduk berikut ini: “Membangkitkan semangat dan tanggungjawab serta kemandirian petani dalam meningkatkan pembangunan pertanian”. Spanduk itu dipasang dalam rangka acara KTNA (Kelompok Tani Nasional Andalan).
Membangkitkan semangat dan kemandirian petani, oke. Tapi, membangkitkan tanggungjawab petani, dalam konteks kondisi petani pada umumnya yang memprihatikan, apa tidak terbalik?. Petani yang sudah menderita diminta untuk lebih bertanggunngjawab apa lagi? Semestinya, pemerintah dan khususnya kementerian pertanian dan seluruh aparatnya yang harus dituntut bertanggungjawab untuk menyejahterakan petani dengan menghentikan impor pangan untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Peradaban
Mengapa Indonesia dan hampir semua bangsa Asia dan Afrika dijajah oleh bangsa Eropa? Jawabnya: kita kalah dalam peradaban dengan bangsa-bangsa Barat. Sejarah bangsa-bangsa menunjukkan bangsa berperadaban lebih tinggi selalu mengalahkan bangsa yang berperadaban lebih rendah.
Lalu, apakah itu peradaban? Menurut kamus besar bahasa Indonesia, peradaban adalahkemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin atau hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa. Kecerdasan adalah kecanggihan dalam berpikir sebagai hasil pendidikan, sedangkan kebudayaan adalah pedoman berperilaku sebagai hasil pembiasaan.
Orang cerdas belum tentu berbudaya tinggi, karena yang terakhir itu memerlukan praktik sehari-hari dalam kurun waktu yang cukup lama. Membuat orang cerdas lebih mudah daripada membuat orang berbudaya, apalagi beradab tinggi. Memang, harus diakui: orang berpendidikan lebih mudah diajak menjadi beradab.
Jadi, yang pertama-tama dibangkitkan adalah kesadaran atau jiwa. Persis seperti bunyi lagu Indonesia Raya itu: bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Pertama jiwanya, karakternya, sikap mentalnya atau mindset (pola pikirnya) yang harus dibangun, baru kemudian ilmu dan ketrampilan teknisnya.
Bung Karno pada tahun 1960an telah mencoba membangkitkan bangsa Indonesia melalui seruan Trisakti: beradulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Hasilnya: merdeka yes, tapi secara ekonomi kita belum berdikari, bahkan tergantung pada hutang luar negeri dan pengurasan sumber daya alam, dan di bidang kebudayaan agak sulit menjawabnya. Mungkin stagnan atau bahkan mundur.
Salah satu bukti konkrit adalah maraknya korupsi dan sikap transaksionalisme dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif, 9 April, 2014. Ditemukan banyak kecurangan dan orang-orang yang berkapasitas dan berintegritas kalah dengan orang yang mengandalkan popularitasberkat politik uang (money politics). Calon pemilih terang-terangan minta uang atau sembako dan banyak caleg yang sejak awal sudah menyediakan apa yang diminta itu. Klop, sama-sama “matrek”. Tapi, karena pemimpin harus memberi contoh, saya lebih menyalahkan yang memberi.
Dengan wakil rakyat yang memperoleh kedudukan dengan cara yang tidak beradab tinggi, kebangkitan yang diharapkan akan sulit terjadi. Alasannya, mau tidak mau, suka tidak suka, nasib bangsa ini lima tahun ke depan akan ditentukan oleh keputusan politik mereka. Tak perlu pesimis, justru sebaliknya, ayo bangkit untuk membangun politik yang beradab, “prophetic politics” (politik profetik atau kenabian), meneladani para nabi dan rasul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H