Teks kutipan: Sabuk Pengaman Informasi perlu dukungan semua pihak yang peduli dengan masalah perbatasan, jika kita tidak ingin wilayah NKRI dicaplok negara tetangga dan atau saudara-saudara kita pindah menjadi warga negara tetangga yang lebih makmur.
“Apa kabar”. Itulah pertanyaan pertama orang Indonesia ketika berjumpa atau berkomunikasi lewat surat atau tilpun dengan seseorang yang telah lama tidak bertemu dan bertegur sapa. Pertama-tama, yang ditanyakan “kabar”, bukan hal lain. Ini berarti orang Indonesia sangat sadar akan pentingnya kabar atau informasi.
Tentang pentingnya informasi sudah lama disadari oleh para cerdik-pandai Indonesia. Buktinya, mereka telah merumuskan pembangunan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan atau knowledge-based society. Lha, ilmu pengetahuan itu kan pada dasarnya berupa informasi. Kenyataannya, banyak orang Indonesia belum memperoleh informasi yang diperlukan, terutama mereka yang tinggal di perbatasan dan daerah terpencil.
Menyadari hal itu, sewaktu mengemban amanah sebagai Dirut Radio Republik Indonesia (RRI), periode 2005-2010, saya mencanangkan pogram Sabuk Pengaman Informasi atau Information Safety Belt. Sebuah sabuk imajiner yang melingkari seluruh wilayah NKRI. Bentuknya, siaran perbatasan yang didukung dengan penguatan pemancar dan pendirian studio produksi, yang kemudian menjadi stasiun RRI, di sepanjang daerah perbatasan mulai Sabang sampai Merauke.
Studio produksi, bukan stasiun relay. Alasannya, stasiun produksi dapat membuat program siaran, terutama untuk berita, siaran pendidikan dan dialog interaktif yang melibatkan masyarakat setempat, sehingga “suara” mereka dapat didengar oleh orang-orang di luar daerah, terutama para pengambil keputusan di kota-kota, khususnya Jakarta. Sedangkan stasiun relay bersifat satu arah, hanya meneruspancarkan siaran dari stasiun yang jauh. Orang-orang perbatasan cuma dapat mendengarkan saja.
Alhamdulillah, dalam waktu dua tahun telah terbangun 16 studio produksi di wilayah perbatasan, daerah terpencil dan daerah strategis yang perlu dilayani siaran RRI dengan baik, termasuk Takengon, Sabang, Batam, Entikong, Malinau, Nunukan, Ampana, Atambua, Skow, Oksibil, Boven Digul, dan Kaimana. Dirut RRI penerus saya, ibu Rosanita Niken Widiastuti, menambahi lagi dengan Aceh Singkil, Sendawar, Saumlaki, Mappi dan Puncak Jaya. Studio produksi itu melengkapi pelayanan stasiun-stasiun RRI di kota-kota besar terdekat.
Sebagai wartawan sejak awal 1973 saya sering mengunjungi wilayah perbatasan dan daerah terpencil. Nyata benar bedanya kondisi daerah-daerah itu dengan perkotaan, terutama di Pulau Jawa. Hal mencolok terlihat di perbatasan dengan Malaysia. Kondisi jalan, pasar dan bangunan kantor pemerintah dan rumah penduduk di Entikong jauh berbeda dengan di Tebedu, yang masuk Negara Bagian Serawak, Malaysia. Batam, yang telah berkembang menjadi kota industri pun, masih jauh dibandingkan dengan Singapura. Untuk perbatasan dengan PNG, kita boleh merasa lebih baik.
Sabuk Pengaman Informasi juga membantu tugas TNI dalam menjaga perbatasan NKRI. Bayangkan, berapa ribu tentara harus dikerahkan untuk menjaga sepanjang perbatasan NKRI dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, yang dua ribu kilometer panjangnya, jika setiap satu km ada satu pos militer. Belum lagi, medannya sulit karena wilayah itu berupa hutan dan gunung. Apalagi, perang di era modern lebih sering berbentuk “perang informasi”, daripada perang fisik. Hal serupa berlaku di perbatasan Papua dengan negara-negara tetangga.
Karena ketiadaan atau kekurangan informasi tentang Indonesia yang diproduksi anak negeri dan dengan versi NKRI, membuat saudara-saudara kita di perbatasan lebih mengenal pemimpin dan produk negara tetangga, karena negara tetangga yang lebih makmur sengaja “membombardir” wilayah NKRI dengan informasi versi mereka. Jadi, jangan gampangan menuduh saudara-saudara kita di perbatasan tidak memiliki nasionalisme.
Radio untuk daerah perbatasan dan terpencil merupakan sarana komunikasi yang paling efektif karena harganya murah dan fleksibel, dapat didengarkan di mana saja dan kapan saja. Tentu, informasi yang berasal dari stasiun televisi dan media cetak juga sangat diperlukan, tapi tidak banyak pengusaha kita yang tertarik untuk menjadi perintis penyedia informasi di daerah perbatasan.
Akhirul kalam, saya bersaksi daerah yang miskin informasi ternyata juga miskin dalam prasarana perekonomian. Akibatnya, penduduknya juga miskin, walau daerahnya memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Informasi yang disiapkan sesuai dengan sasaran dapat menjadi penghela perubahan masyarakat menuju keadilan dan kemakmuran. Sabuk Pengaman Informasi perlu dukungan semua pihak yang peduli dengan masalah perbatasan, jika kita tidak ingin wilayah NKRI dicaplok negara tetangga dan atau saudara-saudara kita pindah menjadi warga negara tetangga yang lebih makmur.
Dompet Dhuafa dan RRI telah sepakat membuat program pemberdayaan masyarakat berbasis radio di wilayah perbatasan. Ayo, siapa ikut bergabung?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H