Rabu, 9 April, bangsa Indonesia akan memilih pemimpin untuk duduk di DPR-RI, DPD-RI, DPRD tingkat propinsi dan kota/kabupaten. Persiapan fisik sudah dilakukan, biaya sudah dikeluarkan, kampanye terbuka dengan rapat umum sudah resmi ditutup, tapi kampanye lewat media sosial semakin ramai dalam hari-hari yang dinyatakan secara resmi sebagai hari-hari tenang sejak 6 April lalu. Mungkin, serangan fajar menjelang 9 April juga masih akan terjadi.
Bangsa Indonesia mempunyai banyak pedoman tentang sifat-sifat pemimpin yang baik dan cara memilih pemimpin yang baik itu. Pedoman itu termaktub dalam apa yang disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom), yang merupakan bagian dari kebudayaan Nusantara. Itu semua tercantum dalam sastera daerah Aceh, Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Bali dan daerah lainnya yang ditulis sejak beberapa abad lalu.
Untuk Kerajaan Aceh Darussalam ada kitab Tajus Salatin atau Mahkota Segala Raja, karya sastrawan besar Buchari Al Jauhari. Kitab ini selesai ditulis di istana kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1603 M. Tajus Salatin (TA) berisi pedoman tentang bagaimana perilaku seorang raja atau pemimpin, menteri dan hulu balang menurut ajaran Islam dengan meneladani akhlak mulia Rasululullah Muhammad Saw.
Karena isinya dianggap sangat bagus, kitab ini dijadikan pedoman bagi kerajaaan Islam Nusantara. Kitab ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa daerah Nusantara dan asing. Dalam bahasa Jawa dikenal sebagai “Serat Tajus Salatin”.
TA antara lain berisi syarat-syarat untuk menjadi raja, yakni harus sudah dewasa (akhil baligh), berilmu, tahu membedakan benar dan salah, pandai memilih orang sebagai menteri dan pembantunya agar dapat melaksanakan tugas sesuai bidangnya, tegas, berani menindak anak buah yang terbukti bersalah.
Seorang raja juga harus bisa membagi waktu dengan baik, yakni waktu untuk beribadah, waktu untuk pemerintahan, waktu untuk makan dan beristirahat serta waktu untuk bercengkerama bersama istri dan anggota keluarga. Raja sebaiknya seorang pria, perempuan boleh menjadi raja, jika memang tidak ada pria yang layak untuk dirajakan. Kitab ini menganjurkan raja jangan gemar main perempuan (berhubungan seks).
Orang yang “dituakan”
Sementara itu, Tunjuk Ajar Melayu (TAM), karya Tenas Effendi, sastrawan Riau, mengungkapkan seorang raja atau pemimpin adalah orang yang “dituakan” oleh masyarakat atau kaumnya. Maksudnya, pemimpin diharapkan dapat melindungi, menjaga dan menuntun rakyat untuk kepentingan hidup duniawi dan ukhrowi.
TAM yang ditulis dalam bentuk pantun yang indah tentang syarat-syarat seorang pemimpin, antara lain sbb: berkata lidahnya masin, bercakap pintanya kabul, melenggang tangannya berisi, menyuruh sekali pergi, menghimbau sekali datang, melarang sekali sudah. Sekilas sudah tampak jelas, seorang pemimpin haruslah orang yang berwibawa karena kekayaan, kedalaman dan pengamalan ilmu spiritualnya.
Kalau hendak memilih pemimpin, TAM menganjurkan: jangan dipilih karena duitnya, kayanya, tampan rupanya, sukunya dan pangkatnya, tapi pilihlah karena budinya, budi bahasanya, peri lakunya, adilnya, benarnya, taat setianya, petuah amanahnya, tenggang rasanya, ilmunya, kedermawananya dan keikhlasan hatinya, iman takwanya, lapang dadanya, bijak akalnya, sifat tuanya, cergas rajinnya.
Lagi-lagi, seorang pemimpin menurut adat budaya Melayu bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang yang sangat tinggi kwalitas budi pekerti, pengetahuan dan amal ibdah dan sosialnya.
Usia nampaknya memegang peranan penting untuk memliki akumulasi pengetahuan, pengalaman dan pengamalan, walau yang lebih tua tidak mesti lebih baik daripada yang lebih muda. Apalagi, memimpin sering kali masih harus terjun ke lapangan untuk melakukan pekerjaan fisik. Demikian pula sebaliknya: muda tapi jika suka miras dan narkoba, pasti gampang letoy juga.
“Sabdo pandhito ratu”
Keutamaan raja Jawa banyak ditulis dalam bentuk tembang. Antara lain dalam “Serat Wita Radya”, karya pujangga Ranggawarsita yang terjemahan bebasnya sbb: Keutamaan seorang raja adalah: banyak memberi sedekah, memberi ganjaran setiap hari dan memenuhi ucapannya. Karena itu ada ungkapan “sabda pandhito ratu, tan keno wola-wali ”, atau sabda pendeta dan raja harus sekali jadi, tidak boleh diulangi atau ditarik kembali. Artinya, ulama dan raja sekali bicara harus ditepati, tidak boleh ingkar janji alias “mencla-mencle”.
Di samping “Serat Tajus Salatin”, ada juga “Serat Makutho Romo” atau Makhota Raja Rama. Isinya adalah sebuah ajaran bahwa seorang pemimpin harus memiliki delapan sifat atau laku mulia yang disebut Hasta Brata. Ke delapan sifat itu adalah seperti 1) bumi (menghidupi), 2) samudera (berpandangan luas, menampung segala keluh kesah), 3) matahari (memberi sinar yang menghidupi), 4) bulan (menyinari dengan teduh, tidak menyilaukan, menakutkan), 5) bintang atau kartika (memberi petunjuk arah dalam kegelapan), 6) angin (adil, merata). 7. api (membakar,menghukum yang salah) dan 8) mega atau awan (meneduhi).
Raja Jawa juga dianjurkan tidak hidup berfoya-foya, melainkan harus gemar bertapa brata, mengendalikan hawa nafsu seperti yang dicontohkan oleh Panembahan Senopati, pendiri dan raja pertama kerajaan Mataram.
Seluruh sifat-sifat baik pemimpin menurut kearifan lokal Nusantara itu intinya sama, hanya beda dalam bentuk pengucapannya dalam bahasa masing-masing. Sifat-sifat baik itu memenuhi apa yang saya sebut dengan istilah Pemimpin Profetik (Kenabian). Artinya, pemimpin yang meneladani akhlak mulia para nabi dan rasul, yakni memimpin bukan untuk mencari kekuasaan dan kekayaan, melainkan melayani dengan sepenuh cinta kepada siapa pun sebagai ibadah kepada Allah, Sang Maha Pecinta.
.
Untuk umat Islam tentu saja, pedoman seorang pemimpin profetik adalah adalah empat akhlak perilaku mulia Rasulullah Nabi Muhammad Saw, yakni Shidiq (benar), tabligh (mendidik), amanah (dapat dipercaya) dan fathanah (arif bijaksana).
Selamat memilih pemimpin, semoga ada yang sesuai dengan persyarawatan kearifan lokal Nusantara, yang dijiwai sifat kenabian itu. Bagi yang menang, ada nasehat dari Eyang RM Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini, seorang fisolof Jawa berpendidikan Barat yang berbunyi: “menang tanpa ngasorake” atau menang, tanpa menghinakan yang kalah.
*Wartawan, penulis buku Jurnalisme Profetik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H