Mohon tunggu...
Slamet Parmanto
Slamet Parmanto Mohon Tunggu... Administrasi - traveller

part time traveller, full time dreamer\r\n\r\nparmantos.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sarjana Sontoloyo

26 Agustus 2014   18:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:30 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Mas Cipto, perawakannya pendek sedikit gemuk. Beliau berasal dari sebuah desa di Kabupaten Bantul, tak jauh dari Jalan Parangtritis. Dulu beberapa kali saya diundang mampir ke rumahnya. Rumah yang cukup kecil dan sederhana. Mas Cip, panggilan akrabnya, beliau bukanlah berasal dari keluarga kaya, kedua orang tuanya hanyalah buruh tani. Yang hanya diperlukan tenaganya kadang-kadang. Tergantung musim. Mas Cip memiliki tiga orang adik, semuanya masih sekolah. Adik nomor kedua, sempat akan dikeluarkan dari sekolah gara-gara telat bayar SPP selama tiga bulan. Meski begitu, adik-adik Mas Cip adalah para juara di sekolahnya. Begitu cerita Mas Cip suatu hari.

Saya dengan Mas Cip beda dua angkatan, beliau dua tahun lebih dahulu masuk kampus ndeso kami. Beliau masuk di Fakultas Peternakan, sedangkan saya di Fakultas Teknik. Meski begitu, hampir tiap minggu saya ketemu dengannya. Baik di masjid maupun di ruang sekretariat sebuah lembaga kampus. Pertama kali mengenal beliau saat saya awal-awal mengikuti pengaosan malam rabu di sebuah masjid dekat kampus kami. Dari situlah saya mengenal Mas Cip sebagai sosok yang penuh teladan. Kebanyakan peserta di pengajian itu adalah para senior dan aktivis kampus, termasuk Mas Cip juga. Namun, di antara para senior itu saya menemukan sosok yang berbeda pada diri Mas Cip. Beliau lebih menganggap saya sebagai teman dibanding sebagai juniornya, selain itu di banyak kesempatan beliau juga tak segan membantu saya.

Setelah lama berinteraksi dengan Mas Cip, kemudian saya semakin mengetahui bahwa Mas Cip tidak sekedar mahasiswa biasa. Selain aktif di beberapa organisasi beliau juga seorang mahasiswa yang mandiri. Sambil menjalani kuliah beliau juga tak segan menjalankan beberapa bisnisnya. Mulai dari menitipkan donat di kos-kosan, membuka angkringan sampai membuat peternakan bebek kecil-kecilan di rumahnya. Memang, beberapa kali usahanya sempat gulung tikar dan satu-satu yang paling lama bertahan adalah berternak bebek. Yang saya kagumi, belum pernah sekalipun saya menjumpai Mas Cip dalam keadaan bersedih setelah salah satu usahanya bangkrut, mengingat banyaknya beban biaya sekolah adik-adiknya yang ia tanggung. Saya bertambah kagum, saat tahu Mas Cip harus rela nglaju rumah-kampus setiap hari dengan sepeda kebo kesayangannya demi mengurusi bebek-bebeknya. Mas Cip menjalani rutinitasnya itu tanpa beban. Sebuah pemandangan langka di saat para mahasiswa lainnya tengah berbangga dengan motor dan mobil mereka, Mas Cip calon sarjana dari universitas terbaik menjalani harinya dengan menggembala bebek.

***

Tiga tahun sejak pertemuan terakhir saya dan Mas Cip, hari ini kami ditakdirkan untuk bertemu kembali. Hari ini saya kembali ke kota yang pernah membesarkan saya. Hanya satu agenda hari ini; bertemu Mas Cip. Sebuah pertemuan yang sempat tertunda dua tahun lalu.

Sesaat menuruni kereta dan berjalan kearah pintu keluar stasiun, saya melihat sosok yang pernah saya kenal.

"Mas Cip...?" sapa saya hati-hati. "Eh iya... Subhanallah dik Ahmad ya?" tanyanya balik sambil merangkul erat. Bersyukur bagi kami akhirnya dipertemukan. Dulu saat masih kuliah, kami sempat berjanji untuk saling mengunjungi saat pernikahan kami masing-masing, tapi hingga waktu pernikahan Mas Cip datang saya tidak bisa memenuhinya. Dan hari ini adalah pelunasan janji saya sekaligus menengok kelahiran anak pertamanya.

"Kita naik apa mas?" "Motor, itu saya parkir di sana?" jawab mas Cip sambil menunjuk sebuah motor bebek keluaran lima tahunan yang lalu. "Udah ngga ngonthel lagi mas? bebeknya bertelur yang satu ini?" tanyaku bercanda. "Masih kok, tapi berhubung mobilitas semakin tinggi, aku paksa bebek-bebekku bertelur dan menetaslah ini hehe "

Tidak banyak yang berubah dengan Mas Cip. Tetap sederhana dan suka bercanda seperti dulu. Dua puluh menit kemudian, perjalanan kami sudah memasuki perkampungan rumah Mas Cip. Banyak yang berubah, batinku. Tak lama kemudian, sampailah kami di sebuah rumah besar berarsitektur Jawa dengan halaman yang luas dan asri oleh pepohonan.

"Ini rumah Mas Cip?" tanyaku keheranan. "Iya, ini rumahku yang dulu. Ayo masuk..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun