"Tapi pak..." aku belum sempat selesai berbicara, argumen bapak sudah menderu bagai serdadu yang melontarkan peluru dari senapan otomatisnya.
"Ora ono tapi-tapian, le tak kandani yo. Mbah-mbahmu mbiyen kui yo bajingan, terus suwargi Pakdhemu kae podoleh bajingan koyo aku, nanging saiki gur kari bapakmu bajingan siji-sijine ning dusun iki"(1).
"Pakdhe Di sudah meninggal Pak, itupun gara-gara sampai sepuh tidak mau pensiun jadi bajingan" aku mencoba berargumen, siapa tau dengan itu bapak mau mengerti dan berhenti menjalani profesinya sebagai bajingan. Pakdhe Sulardi atau Pakdhe Di begitu kami biasa memanggilnya persis dua tahun yang lalu, kakak satu-satunya dari bapak ini meninggalkan kami. Kata dokter di puskesmas, beliau meninggal karena kelelahan. Jantung tuanya tidak kuat lagi menahan beratnya menjalani profesi sebagai bajingan. Profesi yang sudah dijalaninya puluhan tahun seperti bapakku.
"Huss ngawur kowe, wong mati kui ora ono urusane karo profesi. Yen Gusti Alloh wis dawuh malaikat nyabut nyawane suwargi Pakdhe, ora ono sing iso bakal nyegah. Wis takdir jenenge."(2) lagi-lagi argumen bapak jauh lebih canggih.
"Pokoke yo Le, bapakmu iki ora bakal leren leh dadi bajingan" (3) duh, kalau bapak sudah berkata pokoke itu artinya tertutup sudah ruang berargumentasi. Berhenti sudah jalan untuk membujuknya agar berhenti dari profesinya yang ia jalani sejak beliau kecil.
Dulu waktu aku kecil, banyak warga disekitar rumah kami yang mempunyai profesi sama dengan bapak. Meskipun hampir semua tetangga kami itu sebenarnya masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga bapak. Kata bapak waktu itu, leluhur bapak juga seorang bajingan kemudian turun temurun lalu menempati dusun Margo Mulyo ini. Hingga akhirnya, dusun yang tenang dan asri  karena dikelilingi oleh perbukitan ini lebih dikenal sebagai kampung bajingan. Di masa kejayaanya, keluarga bapak dulu tidak sekedar bajingan biasa, selain mempunyai belasan gerobak dan ekor sapi keluarga bapak juga mewarisi lahan sawah yang luas dari mbah buyut kami. Jadi tak heran, dulu banyak orang yang ngenger di rumah kami. Mereka biasanya mempunyai tugas masing-masing, ada yang ngurusi sapi, memperbaiki gerobak yang rusak atau sekedar bersih-bersih di kebun.
Duapuluh tahun berlalu, sejak didirikannya pabrik semen tidak jauh dari dusun kami. Tanah dusun kami memang tidak hanya subur, ternyata bukit tinggi tempat biasa aku dan mas-masku ngarit dulu menyimpan cadangan kapur yang cukup banyak. Kapur adalah bahan penting dalam proses produksi semen. Sejak itu satu persatu warga dusun kami mulai meninggalkan profesi lamanya, beralih menjadi buruh di pabrik itu. Mendapat penghasilan tetap. Adalah salah satu alasan mengapa mereka mau meninggalkan profesi sebagai bajingan yang sudah turun temurun di dusun kami itu. Sebab lain adalah mulai banyaknya kendaran-kendaran besar yang mulai menggantikan gerobak-gerobak sapi. Memang, dari segi apapun gerobak sapi tidak ada apa-apanya dengan pickup atau truk-truk besar buatan mantan penjajah yang juga sempat membuat sengsara warga dusun kami.
Kata simbah dahulu, gerobak-gerobak itu tidak hanya sekedar alat pengangkut hasil bumi juga membantu para pejuang jaman kemerdekaan melawan tentara Jepang maupun Belanda. Gerobak sapi adalah satu-satunya yang menjadi andalan untuk mengangkut para pejuang dan bahan makanannya, saat terjadinya pengepungan Kota Yogyakarta dalam agresi Belanda setelah Sultan dengan tegas menyatakan bergabung dengan NKRI.
Namun kini, setelah Pakdhe Di wafat dua tahun yang lalu. Hanya bapak satu-satunya bajingan yang tersisa di dusun kami. Aku dan mas-masku juga tidak mungkin meneruskan profesi bapak ini. Mas Pri anak pertama bapak tidak mungkin baginya meninggalkan keluarganya di Jerman. Sejak ia kuliah disana dan menikahi gadis bule asli orang sana ia sudah meminta izin bapak untuk menetap di Jerman. Dengan berat hati akhirnya bapak mengizinkannya. Sedangkan Mas Nardi, usaha pertambangannya di Kalimantan membuatnya tidak bisa mudik meskipun setahun sekali. Komunikasi via telepon ialah satu-satunya rutinitas mingguan yang mampu ia lakukan sebagai pengobat rindu bapak. Dan aku sendiri sebagai direktur operasi di sebuah perusahaan minyak asing, membuatku sibuk bukan main. Bisa mudik dan sekedar menengok bapak di rumah adalah kesempatan yang langka. Tapi bagaimanapun, dua bulan sekali aku sempatkan mampir ke Dusun Margo Mulyo sekedar menengok bapak dan sesekali membantunya memandikan sapi-sapinya yang sekarang hanya tersisa dua ekor. Bapak sendiri di rumah hanya ditemani oleh Lik Man, rewang bapak satu-satunya. Lik Man sendiri sudah kami anggap sebagai keluarga kami. Ibu sudah lama meninggal, sejak aku kelas lima SD.
Tidak hanya sore ini saja. Permintaanku ke bapak di tolak mentah-mentah. Mas Pri dan Mas Nardi saat lebaran kemarin juga sudah mencoba membujuk bapak untuk berhenti dari profesinya dan menawarkan tinggal bersama mereka. Meninggalkan bapak sendirian di rumah, kadang membuat kami tidak bisa tidur semalaman. Dan sore ini, adalah kelima kalinya permintaanku di tolak bapak. Sepertinya sampai akhir hayat bapak ingin tetap menjadi bajingan, profesi yang sudah membesarkannya, profesi yang mampu menyekolahkan dan menghidupi anak-anaknya bahkan profesi yang menentukan eksistensi dari bangsa ini. Menjadi bajingan sampai mati! mungkin begitu kata-kata saat jaman perang dulu.