Bicara hari lahir, hari dimana kita hijrah antara dua alam (alam rahim dan alam dunia) tentu tak akan ada habisnya. Kenangan indah, aneka hadiah, pesta meriah, bahkan sampai kalimat-kalimat pengharaman -yang mengatakan itu sebagai budaya jahiliyah- selalu menghiasi hari itu. Yang pastinya masing-masing pribadi merasakan sensasi yang berbeda saat melewati momen tersebut. Ada yang manis -semanis kamu- ada juga yang pahit -sepahit jomblo- . Yak, yang jomblo kena lagi. Teteup.
Saya sendiri, kalau mau dihitung -berdasarkan data dan survei yang ada- #halah. Yang benar berdasarkan KTP (bukan e-ktp, soalnya saya belum pegang) sudah 25 kali #eh 26 kali (mau korupsi umur hehe) mengulang sejarah perjalanan hijrah saya itu. Kalau mau jujur -aslinya sih emang biasa jujur- (kecuali kalau ditanya umur hehe) saya sebenarnya tidak tahu tepatnya kapan dan dimana saya dilahirkan. Semua serba katanya. Tak ada bukti otentik kecuali pengakuan Bapak saya, Ibu saya dan Pakdhe Senen ketua RT waktu itu. Cerita versi Ibu, saya tidak pernah dilahirkan olehnya apalagi oleh bapak saya apalagi bapaknya tetangga saya apalagi.... #Wis cukup. Kata ibu, saya hanya sempat ngontrak sembilan bulan di rahim ibu saya, lalu ketika sudah merasa ngga kuat bayar angsuran terpaksa saya harus di-caesar oleh pak dokter RSU Wonogiri tepat malam Kamis Wage, bulan Sapar 26 tahun yang lalu. Katanya sih, karena ukuran saya terlalu jumbo, sedang Ibu sudah terlalu kelelahan menanti anak nomor empatnya hadir di dunia, jadi kelahiran saya harus dengan operasi caesar. Saya termasuk anak paling manja di keluarga kami. Gimana tidak, jika tiga mas-mas saya (dan juga kebanyakan anak-anak di desa) cukup lahir di rumah dengan bantuan bidan desa. Kata ibu, bapak harus nyater mobil, perjalanan 50 KM menuju pusat kota, semalem menginap di bangsal kelas 1, semalem di ruang caesar dan harus mengorbankan satu ekor sapi. Tenang, sapinya bukan sebagai tumbal. #Klenik banget pikiran sampeyan. Saat itu bapak harus merelakan satu ekor sapi, peliharaan bapak satu-satunya. Seekor sapi Jawa yang saat itu sedang hamil untuk menutupi tagihan rumah sakit. Nas bagi bapak, yang sejak kejadian penyaesaran itu bapak tak lagi pelihara sapi. Entah, karena tak mampu beli atau bapak ganti profesi. Jadi, kalau bicara hari lahir. Saya pasti selalu teringat cerita itu. Cerita tentang bapak yang tak lagi pelihara sapi. Bapak yang ganti profesi. Dan Ibu yang harus operasi.
Selama ini, saya melewati -hari penyesaran- dengan biasa saja. Bak air sungai. Mengalir saja. Kadang alirannya tenang, kadang beriak kadang pula curam terjun ke jurang. Keluarga saya juga begitu, hari lahir bukanlah momen untuk bahagia atau momen berbagi kebahagiaan. Memang, dulu sempat ibu saya rutin -berpuasa weton- puasa dimana hari seseorang dilahirkan. Seperti yang saya mention sebelumnya, Kamis Wage adalah weton saya. Jadi dulu sebelum keluarga kami mengetahui ajaran Islam dengan baik alias masih kuatnya warisan ajaran kejawen dari simbah, ibu sering puasa weton. Sebagai bentuk syukurnya kepada Gusti atas lahirnya anak-anaknya, begitu kata simbah. Namun sejak negara api menyerang, #eh maksud saya sejak pemahaman Islam keluarga kami mulai berkembang, bapak mulai berhenti merokok, anak-anaknya rajin mengaji, bahkan ada juga yang kesampaian jadi ketua LDK kampus, kebiasaan puasa weton rancak ditinggalkan (FYI: dalam Islam tidak ada tuntunan tentang puasa weton). Jadi semenjak itu, tidak ada lagi ritual perayaan hari ulang tahun di hari-hari tertentu. Semenjak itu, perayaan rasa syukur akan kelahiran, nikmat Allah akan anak-anak, dan nikmat Allah akan umur diperingati tiap hari bahkan tak cukup sekali dalam sehari, kata Ibu dalam doa di setiap shalatnya, kami (anak-anaknya) selalu disebut-sebut olehnya. Jadi tak heran, kalau kami sedang berjamaah di surau (aslinya senthong) kecil di rumah, Ibu pasti beres yang paling akhir. Karena doanya yang kelewat panjang, apalagi semenjak punya tiga mantu dan lima cucu. Dan itulah momen bahagia dan berbagi kebahagian ala keluarga kami.
Masih tentang perayaan hari lahir. Di lingkungan pertemanan, jika ada sahabat atau teman yang sedang ulang tahun lebih sering saya hanya memberikan ucapan: Barakallah fii umrik yaa fulan/fulanah. Namun kadang, juga hadir dalam pesta mereka (jika diundang), kadang pula berbagi hadiah (itupun tidak sering dan tak semua orang). Yak, dalam lingkungan pertemanan, saya menjalaninya dengan biasa. Tak menganggap hari lahir sebagai keharusan untuk pesta, keharusan untuk pecah telor, keharusan untuk berbagi hadiah atau keharusan untuk berbagi kebahagian. Saya juga tak ikut-ikutan mengharamkan, hingga harus jauh-jauh dengan kejadian/peristiwa yang berkaitan tentang ini. Jika dikasih ucapan saja saya senang. Jika dikasih hadiah mobil saya bahagia sekali. Jika ditawari calon isteri saya senaaaaaang dan bahagiaaaaaaaaaaaaa sekali.
Dan, hadiah paling wah tahun ini. Di umur yang bentar lagi beranjak umur ke-17 plus satu windu ini, saya mendapat hadiah. Hadiah 'Wah' yang tak pernah saya dapatkan selama ini. Hadiah yang mungkin tidak akan saya dapatkan jika saya tidak datang ke Turki. Hadiah cukup istimewa. Lebih istimewa dari sekedar ucapan dari Menteri Pemuda dan Olahraga-nya Turki (yang saya dapat tahun lalu). Kali ini saya dapat ini :
[caption id="attachment_506" align="aligncenter" width="528" caption="Tagihan Kartu Kredit"][/caption]
Sebuah email dari Is Bankasi (salah satu Bank di Turki) yang berisi tagihan untuk membayar utang kartu kredit saya sebesar 106.61 Turkish Lira. Yang harus dibayarkan hari ini (lihat tanggal digambar) tepat di hari penyaesaran ibu saya demi kelahiran saya. Lha yo ngenes tenan tho....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H