Mohon tunggu...
Slamet Parmanto
Slamet Parmanto Mohon Tunggu... Administrasi - traveller

part time traveller, full time dreamer\r\n\r\nparmantos.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Enam Table Manners ala Wong Jowo

22 Oktober 2015   21:11 Diperbarui: 22 Oktober 2015   21:22 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa bilang table manner itu hanya milik orang Eropa yang serba parlente, borjuis, dan serba kaku itu. Yang peletakan antara pisau daging dan garpu harus dalam posisi yang benar. Dan, jika ada yang bener-bener bilang begitu artinya dia saat ini memang lagi berkacamata kuda. Pandangannya hanya berkiblat pada negeri Eropa, tidak melihat betapa wicaksana para leluhur kita. Khususnya orang-orang Jawa.

Budaya Jawa memang serba filsafati alias segala sesuatu ada yang nggondeli. Meski terkesan sedikit feodal aristokratis tapi sebenarnya ini membuktikan bahwa orang Jawa itu kaum ideologis. Jadi jangan heran, jika enam dari tujuh presiden negeri ini berdarah Jawa.

Dalam urusan makan misalnya. Jika kita mempersepsikan bahwa orang Jawa itu begitu nampak casual -serba nyantai dan tampak bersahaja saat berpakaian maupun cara hidupnya. Maka, yang serba casual itu sebenarnya hanyalah bagian budaya orang Jawa pinggiran, lik-lik tukang becak dan bangunan, atau mas-mas tukang angkringan yang sudah terkontaminasi budaya urban. Karena pada kenyataanya, meski orang Jawa yang tinggal di pelosok desa dengan rumah serba sederhana sekalipun, ternyata masih banyak yang teguh memegang ideologinya, tidak tercemari oleh pemikiran kaum urban yang serba praktis.

Ada beberapa pakem yang harus diperhatikan saat orang Jawa sedang makan;

1. Ojo dokoh. Sudah seperti yang saya bilang tadi, orang Jawa itu serba ideologis. Ukuran makan orang Jawa itu bukan sekedar ukuran jasmaniah demi memenuhi kebutuhan biologis saja. Karena, etiket makannya melarang untuk makan secara berlebihan dan grusa-grusu. Meski dimensi perut orang Jawa dan orang Sumatera tak beda jauh, namun pada kenyataanya orang Jawa yang laki-laki kalau makan ya secukupnya, ndak harus menggunung seperti Merbabu. Nah, apalagi kaum perempuannya, kalau makan ya cuma mak secimik-secimik (sedikit-sedikit). Misal, kalau ada orang Jawa yang makannya dokoh kaya orang kelaparan selama sebulan itu artinya dia orang Jawa pinggiran, orang Jawa yang sudah tidak ideologis alias penganut Jawa liberal.

2. Ojo kakean polah. Mbah Ronggo paling menyeramkan dalam hal ini. Kalau saya kebetulan mampir terus numpang makan di rumah simbah dari Ibuk ini, terus sambil makan saya pelayon (lari-lari) di rumah joglo-nya yang besar itu, minimal sendok sayur bisa melayang di kepala. Aturannya, kalau sedang makan di meja ya sideku -duduk manis, tangan di meja, dan nunduk pada makanan di piring. Atau kalau makan sambil lesehan ya bersila dan anteng. Jadi kalau ada orang Jawa yang kalau makan suka nangkring atau jigang -mengangkat sebelah kaki ke kursi kaya lagi makan di angkringan, maka lagi-lagi mereka itu pasti orang Jawa penganut urbanisme yang mungkin sudah lupa ajaran simbah-simbah dulu.

3. Ojo kecap. Selain tidak boleh banyak tingkah, saat makan juga tidak boleh bersuara, baik suara yang ditimbulkan saat mengecap di mulut ataupun suara dari piring akibat benturan sendok dengan piring. Sing alon-alon, karena makan terus kecap itu saru -tidak baik. Bagi perempuan, terancam ora payu rabi -tidak laku nikah.

4. Ojo ning lawang. Ada kebiasaan kecil yang sering saya lakukan waktu makan dulu. Yaitu makan sambil leyeh-leyeh di pintu dapur yang menghadap kebun kecil depan rumah, ketimbang duduk manis di meja makan atau ruang tengah sambil nonton tipi. Ibuk saya pernah bilang, yang seperti itu juga saru. Tapi, berhubung Ibuk itu sedikit moderat tidak sampai sendok atau sapu melayang. Namun, kalau simbah pas kebetulan bertandang ke rumah maka Ibuk berubah sedikit marah jika masih tetap dengan kebiasaan itu.

5. Ojo tanduk yen piring wis suwung. Artinya, jangan nambah kalau piring sudah terlanjur kosong (tak ada sisa). Aturannya, kalau mau nambah porsi ya sisakan meski hanya sedikit nasi atau lauk di ujung piring. Jangan biarkan piring bersih, terus kita nambah. Ini sebenarnya juga sebuah siasat bagi mereka yang memang porsi makannya besar, tapi malu jika langsung dengan porsi Merbabu. Caranya, setelah makan dan hampir habis porsi pertama sisakan sedikit nasi, kemudian ambil sayur atau lauknya sedikit lebih banyak. Kemudian, karena nasi yang tersisa cuma sedikit dan langsung habis di porsi kedua, sementara lauk masih tersisa, maka tambah nasi sebagai porsi ketiga. Begitu seterusnya, ulangi skemanya sampai kita benar-benar kenyang. Nah, yang begini boleh dan tidak saru.

6. Ojo nyiso. Artinya, jangan bersisa. Sampai sekarang saya masih bingung, apa korelasi sisa makanan dengan matinya seekor ayam. Karena orang Jawa bilang, yen mangan nyiso, sesok pitike mati. Kalau makan lalu tersisa, besok akan ada ayam mati. Nah, padahal sisa makanan itu bisa buat ayam. Terus hubungannya di mana? yang satu ini sampai sekarang masih misteri. Namun, manner yang keenam ini, sepertinya tidak berlaku saat kita berkunjung ke rumah orang lain (terutama yang belum begitu akrab). Jika, sedang bertamu maka etiket makan justru kebalikannya, sebisa mungkin sudahi sebelum nasi atau lauk dipiring benar-benar habis. 

Nah, begitulah beberapa etiket atau table manner ala orang Jawa tipe ideologis. Tapi orang Jawa yang tipe moderat-liberal ala kaum urban mungkin sudah tidak lagi menganut pakem di atas. Kalo mangan ya mangan, yang penting ngga lupa doa dan bersyukur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun