Mohon tunggu...
Slamet Parmanto
Slamet Parmanto Mohon Tunggu... Administrasi - traveller

part time traveller, full time dreamer\r\n\r\nparmantos.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mudik Bersama Ke Surga

11 Juli 2015   19:42 Diperbarui: 11 Juli 2015   19:42 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi Mudik dari blog.hulaa.com"][/caption]

Ada sebuah paradoks menahun di negeri kita. Yaitu, ketika mendekati hari raya umat Islam di Indonesia kini semakin disibukkan oleh itikaf mudik. Mengapa itikafnya saya coret, karena di sanalah paradoks itu bermula. Idealnya, di sepuluh hari terakhir Ramadhan ini, kita dianjurkan untuk meningkatkan ibadah, beribadah demi menggapai lailatul qadar yang kebaikannya setara dengan seribu bulan itu. Namun, prakteknya (kebanyakan) kita justru menghabiskan waktu tersebut untuk hunting tiket, mal-mal perbelanjaan, diihabiskan sebagian besar waktunya dijalanan sambil terjebak kemacetan dan seterusnya. Itu realitanya, karena saya sendiri sering pernah mengalami.

Budaya mudik, ternyata tidak hanya milik orang Indonesia , tidak pula milik umat Islam saja. Mudik pada dasarnya milik semua umat manusia. Jika tidak percaya, cobalah gogling maka Anda akan menemukan budaya ini di banyak belahan dunia.

Ya karena sejatinya, mudik adalah sebuah panggilan jiwa yang bersifat universal. Seberapa sukses kita, senyaman apa dan atau sepopuler apa kita di tanah orang, seorang perantau pasti ingin kembali ke tanah kelahiran, rindu akan kampung halaman di suatu saat nanti. Karena kampung halamanlah, tempat di mana kita bisa menemukan kebahagiaan dan kegembiraan. Dengan kata lain dengan mudik, kita sebenarnya rindu akan kegembiraan. Kegembiraan, yang mungki tidak bisa kita dapat di tanah rantau. Dan orang yang paling beruntung itu, ketika ia mudik (pulang) dia tiba ditempat tujuan di waktu yang direncanakan dan selamat.

Hidup kita di dunia ini, hakikatnya adalah sebuah perjalanan mudik. Mudik kemana? tentu ke rumah asal kita, dan di mana itu? tidak lain adalah surga. Ya, nabi Adam dan istrinya, Hawa adalah penduduk aseli surga. Yang kemudian diperjalankan oleh Allah di muka bumi (karena kesalahan mereka), untuk nantinya kembali lagi ke surga setelah hari kiamat kelak.

“Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” QS Al-Baqarah 2:35.

Namun, seperti halnya mudik. Ternyata, tidak semua pemudik sampai tujuan dengan lancar dan selamat, ada yang kesasarlah, kejebak macet, atau ada pula yang meninggal karena sebab kecelakaan. Begitu pula dengan perjalanan mudik manusia ke surga. Ada yang langsung wess samai tujuan (surga), tersendat-sendat (mampir bentar di neraka), bahkan ada yang tak pernah kembali (kekal di neraka).

Ada satu kesamaan yang lain, setiap kali musim mudik ini tiba. Pemudik biasanya rombongan dengan keluarganya dan ada pula yang sendirian. Tak jauh beda, mudik ke surga pun demikian adanya.

Dalam surah Az-Zukhruf ayat 70, Allah berfirman:

ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُونَ

“Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun