Mohon tunggu...
Slamet Parmanto
Slamet Parmanto Mohon Tunggu... Administrasi - traveller

part time traveller, full time dreamer\r\n\r\nparmantos.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Lombok: The Island of Hospitality

7 Agustus 2014   05:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:13 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
At gili rengit (photo taken by mas Cader)

Bagai tanah di lereng bukit samping rumah bulik saya yang hari demi hari makin tergerus, keramahtamahan dewasa ini sirna dari tempat yang seharusnya berada. Iya, ramah dan tamah memang bukan hanya milik forum basa-basi acara resmi di kelurahan, bukan pula hanya milik calon besan laki-laki yang bertandang ke rumah keluarga besar mempelai perempuan untuk melamarkan anaknya. Bukan. Sudah seharusnya, ramah dan tamah. Dua makhluk berkelamin berbeda ini, hadir secara spontan di kehidupan kita sehari-hari. Sudah semestinya kalau si ramah dan tamah itu diciptakan berdampingan, berpasangan dan saling melengkapi. Karena mereka adalah hubungan timbal balik, interaksi dua arah dan saling menguntungkan.

[caption id="" align="aligncenter" width="517" caption="At gili rengit (photo taken by mas Cader)"][/caption]

Saya ulang kembali, bahwa kita perlu menghadirkan mereka dalam kehidupan sehari-hari secara spontan alias alami. Tidak dibuat-buat apalagi hanya sekedar pencitraan. Karena jika masing-masing dari kita melakukannya, pasti ada efek positifnya di waktu-waktu kita menghadirkan sepasang kekasih ini.

[caption id="" align="aligncenter" width="430" caption="Refreshing at Gili Layar (dok pribadi)"]

Refreshing at Gili Rengit (dok pribadi)
Refreshing at Gili Rengit (dok pribadi)
[/caption]

Setahun lalu, saya diberikan kesempatan untuk solo traveling ke luar Jawa tepatnya pulau Lombok. Malang nasib saya, setelah seperempat abad saya di bumi saya belum pernah berpergian keluar pulau Jawa, keluar negeri sih pernah bahkan tinggal di sana. Tapi, melihat secara langsung keaadaan saudara sendiri di pulau lain, belum pernah sama sekali padahal keluarga saya adalah keturuan dari seorang nenek PETUALANG (PEranTaUAn yang melaLANGbuana) yang mempunyai jam terbang tinggi dalam urusan merantau bahkan ada sebagian dari mereka itungan tahun. Ironis bukan?

Mr. Blangkon (dok pribadi)

Singkat cerita, saya tiba di Lombok. Pulau dengan sebutan pulau seribu masjid, seribu pantai dan seribu pulau. Perjalanan tiga hari dua malam saya tempuh dari kampung saya di Wonogiri sebuah kota tak terkenal di timur jauh kota Surakarta ini, dan selama perjalanan itu perasaan saya was-was mengingat kasus-kasus kriminal yang sering menimpa traveler seperti digambarkan di televisi-televisi kita. Kalau boleh jujur, pengalaman saya hidup di luar negeri (khususnya Turki) sedikit memberikan gambaran betapa mengerikannya jalan sendirian di kota-kota besar di Indonesia (walkhusus adalah Jakarta). Maka saat saya sedang menyusun itinerary ke khawatiran saya selalu menjadi point penting untuk menentukan destinasi. Saya tidak mau memberikan peluang sedikitpun pelaku kriminal menghakimi saya seenaknya sendiri. Nah, untuk menyusun itinerary ini banyak referensi yang saya pakai baik dari browsing ataupun tanya teman-teman kuliah saya  dulu yang aseli Lombok. Dan Alhamdulillahnya, saya menemukan sebuah grup fesbuk bernama Lombok Backpacker. Komunitas pencinta traveling di Lombok ini dimotori oleh Om Duta dan dua kawannya yang lain. Nah dari komunitas ini saya banyak mendapat informasi penting dan menarik untuk menjadi catatan saya. Dan itu terbukti saat hari pertama saya di sana. Orang-orang yang sebelumnya tidak saya kenal, begitu baik dan mereka rela saya repotin bergabung dengan kegiatan touring mereka hari itu. Tidak hanya hari itu saja. Berkat komunitas mereka saya bertemu dengan mas Risal yang datang jauh-jauh sendirian dari Makasar. Mas Risal adalah selanjutnya adalah teman perjalanan saya keliling pulau Lombok lima hari disana. Banyak pengalaman menarik yang saya ambil selama perjalanan wisata alam-budaya-manusia lima hari itu.

Facing the sunset at Gili Terawangan (dok pribadi)

Dan akhirnya saya paham, mengapa Lombok itu disebut pulau seribu masjid, seribu pantai dan seribu pulau. Karena selama lima hari disana, ternyata tidak cukup untuk menikmati keindahan secuil firdaus di bumi ini. Dan yang terpenting dari mbolang bin nekat saya itu berhasil mematahkan hepotesis saya selama ini bahwa betapa mengerikan perjalanan sendirian ke luar zona nyawan (Pulau Jawa). Karena ada sebuah persepsi non-formal dilingkungan masyarakat Jawa, bahwa orang Jawa itu terkenal sebagai orang kalem, lemah lembut dan masih menjunjung keramah-tamahan. Sehingga selalu merasa was-was kelewatan jika berpergian sendirian. Dan pulau Lombok (dan semoga pulau-pulau lainnya) membuktikan bahwa dua makhluk bernama ramah dan tamah itu hadir di tengah-tengah masyarakatnya dan saya merasakan kehadiran dan kehangatannya. Terimakasih Lombok. The Island of Hospitality.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun