Selimut tebal tak mampu menahan laju
Tulangku rontok disergap serdadu
Alap - alap jatuh bergelimpangan
Bak darah 66
Perlahan semakin menipis
Semakin merana
Semakin aku mendekati ajal
Terpogoh dijuru memohon keringat
Mataku berlarian melihatnya
Tak kuasa rasanya
Kau tau keringat itu tak kau sadari
Menghambur milyaran magma
Entah dari mana
Mawar merah beterbangan mewarnai
Pelepas dahaga Sunda kelapa
Air liurku menetes
Membasahi sampai menggorok tanah
Kerikil melepuh kepanasan seketika
Aspal yang ku injak meleleh
Bersama dengan melelehnya semen yang memeluk grendaseba
Kampanye kuda liar bersemi lagi
Dadaku dikadali seekor keledai
Keledai tanpa bulu
Wahai ibu inilah ajalmu
Janganlah kau pergi dulu
Aku siapkan rumah untukmu
Ada apa denganmuÂ
Kau tersipu atau malu
Jangan kau teteskan air matamu Bu
Aku tak sanggup melihatnya
Tapi aku siapkan celurit
Maukah kau sendiri yang melakukannya
Bacok saja aku ikhlas
Aku tak suka kau dihina
Jangan kau bungkam
Inikah maksudmu juga
Jangan kau salahkan aku
Bu jawab aku. Ibu
Perlukah aku
Jangan hujat kami lagi
Kami tak serendah
Benar yang kau katakan
Senapan menderu dipelipis menerobos merobek
Jangan kau ancam dengan nyalakmu
Aku tak tahu
Lagi pula aku tak tahu
Hanya melihat. Bukan tak mau
Susah diatur
Menjadi kami. Jangan mimpi
Tenggorokanku tak bisa berucap
Nafasku kembung kempis
Bulu kudukku beterbangan
Dingin dan segar dari ubunku
Ibu maafkan aku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H