Mohon tunggu...
parman rudiansah
parman rudiansah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hobi membaca, tidak suka berisik, dan menulis puisi bagian caraku menafsir tabir

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Benalu

6 Oktober 2024   13:51 Diperbarui: 6 Oktober 2024   14:03 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Entah ini permainan
Entah ini dimainkan
Entah juga main main
Barangkali barang mainan

Sekumpulan kelelawar menghias langit
Kumandang magrib menggema
Semua diam tak bergeming
Bercengkrama dengan malam
Gelap menjadi kawan sejati

Dingin itu seperti haus
Terkadang cakrawala berbaris layak serdadu tuli
Berkelebat pula entah dari mana
Menikmati firasat

Yang terjauh menghias gelombang dalam
Mesra tanpa nafas
Angin mendesirdesir menggorok siapa yang dia temui
Melenggang tanpa celah kembali

Disavana segerombolan perampok tanpa topeng
Mereka mengenakan busana bak priyai
Hitam mengkilat Garuda emas
5 serangkai tersenyum kecut
Memainkan dawai keabadian

Lekang waktu. Padahal mereka hilaf
Terkadang Mega bisa berubah. Dukun dipojok komat Kamit
Ini pertunjukan drama kolosal epik
Tanda bawa semua bisa diukur dan terukur

Menyala abangku. Suara dikerumunan memecah ripuh ombak
Bendera berkelebat. Turunkan! Bubarkan!
Semangat menggebu tampak sekali
Darah bolak balik. Ke kepala turun lagi naik lagi

Mereka dikerumun tanpa rasa dosa
Mereka itu perlente begitulah
Bendo menghias silau menggilas pandang
Runtutan kata disampaikan dengan sedikit empati

Diatas sana aku geleng kepala
Padahal kau bukan siapa siapa
Aku tak menyangka. Penghianatan demi penghianatan
Atas nama pusaka sejarah
Sebut saja Garuda Emas

Kita dipertontonkan bahwa kejahatan adalah nama lain dari seni
Kita dipercontohkan bahwa kekejaman adalah menguasai panggung wacana
Kita dipercontohkan bahwa kemenangan adalah menyimpan dialektika diatas meja
Kita dipertontonkan membabi buta

Pesan epik pendahulu tak salah
Kita hari bertarung dengan bangsa sendiri bukan
Karena penjajah tak terlihat. Mereka menjelma menjadi siluman rubah putih
Sementara budak-budak dengan bangga
Tak kuasa menahan tawa. Darahku menyembur dari kerongkongan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun