Mohon tunggu...
parman rudiansah
parman rudiansah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hobi membaca, tidak suka berisik, dan menulis puisi bagian caraku menafsir tabir

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nestapa

28 Agustus 2024   21:38 Diperbarui: 28 Agustus 2024   21:40 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Matahari enggan lagi menguap pagi ini
Awan hitam melegam tak bergeming
Kini aku meluncur menyerup menyambut hampa
Dimana kenyataan terbahak menyaksikan diri yang tak pernah jera dari lamunan

Inilah sebuah kegaduhan ekspresi
Kewarasanku tak bertolak barang segaris
Bertengger diam
Aku dibangunkan gerombolan tokek bersiul diujung genteng
Mengharap atas hari penuh cahaya

Mendung di ufuk Ciremai
Siapa berani meninggalkan kasur empuk
Remuk rasa bangkit mengilu
Yang pasti
Masih sebatas angan

Melanjutkan mimpi yang kandas dimakan jeda
Kakiku enggan bila tak terpaksa
Berbisik saja
Mengapa nampak jauh api dan panggang
Tidakkah tau kalau itu lelucon

Bertengger warna dikejauhan
Nampak dekat
Tetap saja tak ada kompromi
Biarkan saja lamunanku terbang melintasi ruang
Tak apa bukan. paling lolongan dari luar yang gaduh masih kalah dari dalam perut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun