Tidak ada kata yang lebih tepat untuk memberikan julukan bagi aksi menolak pembangunan pabrik semen milik BUMN di Rembang yang sudah berlangsung 931 hari sebagai aksi demonstrasi penghinatan terhadap negara terlama di dunia. Di hasil pencarian di Google belum ditemukan aksi demonstrasi terlama seperti yang dilakukan oleh LSM dan oknum warga Rembang. Yaa.. aksi menolak pabrik semen Rembang dalam berbagai bentuk aksi (medsos, demonstrasi, penggerudukan, menyakiti diri sendiri dan lainnya).
Terbaru aksi yang dilakukan adalah untuk kedua kalinya mereka “mengecor kaki di depan Istana Negara” pada tanggal 14 Maret 2017 dan berhasil mendapatkan perhatian dari Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki. Ternyata ada yang tidak suka dengan upaya Jokowi menjadikan harga semen di Papua sama dengan Jawa yaitu Rp 70.000/zak.
Siapakah yang bisa melakukan? berkaca pada BBM 1 harga yang pelaksanaannya oleh Pertamina, maka program semen 1 harga di Papua, tentu hanya BUMN yang bisa melaksanakan, BUMN tersebut adalah Semen Indonesia. Dengan upaya pelemahan secara sistematis terhadap Semen Indonesia, maka program harga semen 1 harga di Papua menjadi mustahil dan berpeluang menjadi salah satu janji Jokowi yang tidak dapat dilaksanakan.
Kok Malah Menjadi Penghianat
Jika aksi tersebut dilakukan untuk perjuangan yang “benar-benar demi NKRI” seperti minta Freeport segera hengkang dari Papua karena telah mengeruk kekayaan alam Indonesia dan hanya sedikit manfaat yang diberikan ke negara, tentu aksi tersebut adalah “Aksi Pejuang Nasionalisme” demi tegakknya kedaulatan Indonesia. Jika aksi tersebut adalah “Aksi Menolak Reklamasi” yang jelas-jelas penghuninya nanti adalah orang asing, tentu aksi tersebut adalah “membela hak-hak warga Indonesia”.
Namun aksi di Rembang yang dipelopori oleh LSM JMPPK yang berasal dari Pati dan didirikan oleh warga Pati, yaitu Gunretno adalah menolak berdirinya Pabrik Semen BUMN milik Semen Indonesia di Rembang. Sedangkan di Pati akan berdiri pabrik semen milik Asing, namun ibarat pepatah “Kuman Disebarang Lautan Tampak, Gajah Dipelupuk Mata Tidak Tampak”, itulah yang terjadi di Jawa Tengah.
Gubernur Ganjar pusing tujuh keliling menghadapi aksi “spartan dan terorganisir” penolakan pabrik Semen Rembang. Putusan Mahkamah Agung yang meminta ijin lingkungan dicabut, meskipun penggugat menggunakan bukti dokumen yang palsu dan sekarang Joko Prianto dkk sebagai proxy Gunretno di Rembang sudah dijadikan tersangka oleh Polda Jateng, maka putusan MA harus dilaksanakan. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sudah mencabut ijin lingkungan di bulan Januari 2017.
Namun, sesuai UU UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka Semen Indonesia berhak mengajukan kembali ijin lingkungan. Dalam semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ekonomi dan bisnis, maka kepastian berusaha menjadi sarat mutlak. Maka perusahaan boleh mengajukan ijin lingkungan kembali dengan mengajukan dokumen Amdal yang telah disesuaikan dengan ketentuan regulasi terkini,
dan prosedur tersebut sudah dilakukan Semen Indonesia dengan mengajukan Amdal dan sudah di uji oleh Komite Penilai Amdal (KPA) Jawa Tengah melalui sidang terbuka yang dihadiri seluruh stakeholders, termasuk pihak “penolak pabrik Rembang”, yang karena memang tidak memiliki argumentasi memilih meninggalkan sidang sebelum kegiatan selesai. Bahkan telah sesuai dengan peraturan terbaru Menteri Lingkungan Hiudp dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Tata Laksana Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta Penerbitan Izin Lingkungan.
Argumentasi Pada Pokoknya “Pabrik Semen Rembang Harus Ditutup”
Pada akhirnya argumentasi paling akhir dari pihak penolak pabrik Semen Rembang adalah “Pokoknya Harus Ditutup”, tuntutan harga mati adalah pabrik ditutup. Siapakah LSM dan oknum Warga Rembang yang menolak dan memiliki kehendak pokoknya harus ditutup!!. Apakah mereka pemilik NKRI, apakah mereka pihak berwenang, apakah mereka mewakili warga Rembang? Jawabannya adalah “Tidak”. Penolak pabrik Semen Rembang justru disinyalir adalah “Proxy Kepentingan Asing” yang ingin menguasai SDA dan industri semen. Banyak pemberitaan di media maupun forum publik yang menunjukkan “Kedekatan pentolah penolak Pabrik Semen Rembang Gunretno dengan pabrik semen milik Jerman (Indocement) dan Singapura (Wilmar)”.