Tak terasa sudah 7 tahun ini kericuhan pemekaran Protap (Propinsi Tapanuli) berlalu. Masa cooling down 2009–2016 untuk Pemekaran Protap sepertinya sudah lebih dari cukup.Â
Hanya saja, perkembangan yang terjadi selama 7 tahun terakhir ini sangatlah mengecewakan. Pemekaran Protap yang semula diharapkan telah menjadi milik angkatan muda dan bukan lagi milik angkatan tua, di masa cooling down yang relatif panjang ini justeru telah memicu lunturnya semangat angkatan muda Batak multikultur untuk segera memiliki rumah besar bernama Protap.Â
Tiga hal pokok tetap mengikutinya. Pertama mereka yang anti Protap tetap menyuarakan bahwa Protap yang kemarin diperjuangkan adalah sebuah calon Propinsi Rasis yang didominasi umat Kristen sekawasan Toba. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa perjuangan pemekaran Protap 2009 hanyalah milik elite Toba tertentu yang samasekali tak mewakili orang Batak multikultur secara keseluruhan. Ketiga, kalangan pesimis yang tetap meragukan apakah SDA tano Batak dapat mendukung keberadaan Protap.
Di luar semua itu, satu hal yang pasti bahwa tano Batak sampai sejauh ini tetaplah daerah terbelakang yang memprihatinkan di jajaran NKRI. Meski keterbelakangan itu sekarang beroleh penghiburan dengan janji pemerintah untuk mengembangkan kepariwisataan Danau Toba, bahkan Menko Kemaritiman Rizal Ramli lebih jauh lagi dengan mengatakan akan mengembangkan kawasan Danau Toba menjadi Monaco-nya Asia.
Tapi tak urung inipun masih juga menggelisahkan, terbukti Perpres 49/2016 tentang BODT (Badan Otoritas Pengembangan Kawasan Pariwisata Danau Toba) yang dikeluarkan awal Juni lalu masih menjadi bahan polemik sampai sekarang. Tokoh dan aktivis setempat gelisah, karena rakyat di lingkar Danau Toba tak pernah diajak bicara, terutama untuk membicarakan kawasan seluas 500 Ha di Tobasa yang konon harus disediakan sebagai pusat BODT.
Juga, ada 4 hal penting lainnya yang tetap membayangi pemekaran daerah ini, yaitu para Bupati sekawasan tano Batak lebih memilih diam ketimbang memotivasi rakyat untuk melakukan tekanan politik terhadap pemerintah pusat; putera-putera Simalungun dan Karo terkesan lebih mengambil jarak sebagai penonton; yang paling mencolok para elite politik Batak di pusat juga lebih memilih bungkam dan para miliuner Batak tak mau lagi ambil pusing tentang pemekaran Protap begitu GM Panggabean dipermalukan, bahkan telah meninggal dunia beberapa waktu yang lalu dan Chandra Panggabean sebagai pentolan Protap telah lama dilupakan rakyat.
Yang masih bersuara konsisten sampai sekarang hanya tinggal Gelmok Samosir. Itupun mulai sayup suaranya dan lambatlaun akan menghilang dibalik cakrawala politik negeri ini.
Sulit Bersatu
Terlihat, betapa sulitnya orang Batak itu bersatu. Ini tak hanya di kalangan angkatan tua saja, tapi juga di kalangan angkatan muda Batak itu sendiri. Mereka telah kehilangan patriotisme terhadap tanah legacy-nya. Buat apa sih Protap? Otonomi Daerah saja tak bisa dimanfaatkan, apalagi berumah sendiri dalam sebuah propinsi. Andai berumah besar Protap pun, apa tak gontok-gontokan mereka nanti? Itulah kurang lebih keraguan yang mencabik benak mereka.Â
Protap sesungguhnya hanyalah pilihan nama yang moderat untuk semua orang Batak. Term Tapanuli (Tapian na uli) merujuk pada sebuah wilayah yang meliputi eks Karesidenan Tapanuli (di masa reformasi dimekarkan menjadi Taput, Tobasa, Samosir, Humbanghas, Tapsel, Sibolga, Madina, Palas, Palut, Tapteng, Nias, Nias Selatan, Dairi dan Pakpak Barat) dan juga merujuk pada sebuah kemajemukan karena sebuah proses asimilasi dan afiliasi kultural sepanjang sejarah pintu terbuka tano Batak di lingkar Bukit Barisan terhadap dunia luar.
Karenanya perlu penegasan khusus bahwa di wilayah ini terdapat berbagai suku bangsa seperti Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera), Melayu dan berbagai varian lainnya di sepanjang pantai barat dan di sepanjang wilayah Tapanuli yang berimpit dengan kawasan pantai timur Sumut. Semuanya itu adalah warga Tapanuli yang kini sepenanggungan-sependeritaan karena keterbelakangan ekonomi dan politik.