Yang menjadi masalah sekarang adalah dari poros perlawanan yang dipimpin Iran Disini kata-kata yang keluar hanyalah kata-kata provokatif bahwa Hamaslah yang menang dalam Perang Gaza. Ini tak ayal langsung dikembangkan oleh media Indonesia secara bombastis seperti Sindo News, Tribun News, CNN Indonesia, CNBC Indonesia, Republika, TV One, Nusantara TV bahkan Kompas TV dan Metro TV bahwa gencatan senjata sebagai awal kehancuran Israel, dan segala macam kata merendahkan lainnya terhadap Israel ketimbang berulas masalah kompleks disana secara seimbang entah itu historisitas tanah Israel, lalu mengapa ada revisionisme dari dunia Arab yang menjadikan nama Palestina sebagai nama kedok bagi orang-orang Arab yang dimajukan dunia Arab menjadi penduduk disana pasca kemerdekaan Israel yang diakui PBB pada tahun 1948.
Narasi yang muncul dari poros perlawanan yang dipimpin oleh Iran, yang memuji Hamas sebagai "pemenang" dalam Perang Gaza, serta pengembangan isu tersebut oleh media Indonesia, mencerminkan beberapa dinamika politik, ideologis, dan budaya.
Narasi Kemenangan untuk Mobilisasi Dukungan
Iran dan sekutunya menggunakan narasi kemenangan untuk menjaga semangat perjuangan dan dukungan di kalangan simpatisan mereka, baik di dalam negeri maupun di dunia Arab-Muslim. Mengklaim kemenangan, meskipun secara faktual situasi di lapangan tidak mendukung, adalah taktik retorika untuk menjaga legitimasi dan pengaruh mereka.
Media yang cenderung mendukung Hamas sering kali menggunakan pendekatan emosional untuk menarik perhatian publik, menggambarkan perjuangan mereka sebagai simbol perlawanan terhadap "penindasan."
Bias Media di Indonesia
Banyak media di Indonesia memiliki afiliasi ideologis atau pemiliknya terhubung dengan kelompok yang mendukung perjuangan Arab-Palestina sebagai bagian dari solidaritas Muslim global. Hal ini mempengaruhi cara pemberitaan yang sering kali tidak berimbang dan lebih fokus pada narasi heroisme Hamas dibandingkan analisis yang kompleks.
Isu Arab-Palestina-Israel memiliki daya tarik emosional yang kuat di Indonesia karena faktor agama, sejarah, dan solidaritas politik dunia Islam. Media sering memanfaatkan emosi ini untuk meningkatkan konsumsi berita dan popularitas mereka.
Minimnya pemahaman sejarah yang seimbang
Revisi Historis. Dunia Arab telah mengembangkan narasi bahwa Arab-Palestina adalah tanah Arab yang "direbut" Israel, mengabaikan fakta sejarah bahwa tanah tersebut memiliki kaitan panjang dengan bangsa Yahudi. Setelah deklarasi kemerdekaan Israel pada 1948 yang diakui PBB, migrasi besar-besaran orang-orang Arab ke wilayah tersebut dipolitisasi untuk menciptakan "penduduk asli" yang diberi nama kedok "Palestina",padahal fakta sejatinya mereka adalah orang Arab dari berbagai dunia Arab, seperti Mesir, Yordan, Syria dst.
Karena mayoritas dunia Islam mengikuti narasi ini, banyak media dan masyarakat di Indonesia tidak kritis terhadap fakta sejarah yang lebih kompleks, termasuk asal-usul konflik dan pengakuan internasional terhadap negara Israel.