Pelemahan indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) sebesar 1,8% pekan lalu menandakan aksi ambil untung (profit-taking) setelah reli sebelumnya. Ini juga memperlihatkan pengaruh meningkatnya preferensi "cash is king," didorong oleh penguatan USD Index.
Pasar saat ini dalam mode "wait-and-see" terhadap keputusan suku bunga The Fed. Jika The Fed memberikan sinyal hawkish (menaikkan atau mempertahankan suku bunga tinggi), ini berpotensi memperkuat USD dan menekan pasar saham global, termasuk IHSG. Sebaliknya, jika ada sinyal dovish (pelonggaran), pasar bisa berbalik optimis dengan memanfaatkan peluang window dressing di akhir tahun.
Pasar obligasi dan capital outflow
10-year bond yield yang naik di atas 4,4% mencerminkan tekanan inflasi dan ekspektasi bahwa suku bunga akan tetap tinggi. Ini membuat aset berisiko seperti saham kurang menarik dibandingkan obligasi AS, yang lebih stabil dan memberikan imbal hasil tinggi. Alhasil, capital outflow dari pasar negara berkembang seperti Indonesia berpotensi meningkat.
Dinamika domestic : IHSG dan Rupiah
Di awal pekan ini, IHSG diperkirakan melemah akibat kombinasi sentimen negatif dari Wall Street; capital outflow karena rotasi aset menuju obligasi AS; data ekspor-impor Indonesia yang diproyeksikan stagnan atau melemah.
Rupiah yang diperkirakan bergerak di kisaran Rp 16.000/dolar AS menunjukkan pelemahan terhadap dolar. Hal ini disebabkan oleh penguatan dolar AS dan sentimen global yang kurang mendukung aset negara berkembang.
Peran China dalam menentukan sentimen pasar
Fokus pada indikator seperti harga properti, investasi aset tetap, produksi industri, dan penjualan ritel mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap daya tahan pemulihan ekonomi China.
Harapan terhadap stimulus ekonomi di China tahun depan bisa memberikan sentimen positif jangka menengah, tetapi dampaknya mungkin baru dirasakan setelah pasar mendapatkan kejelasan kebijakan lebih lanjut.
Prospek IHSG dan saham pilihan