Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi, mengatakan deteksi dini suatu penyakit dapat mengurangi tingkat keparahannya dan menekan biaya pengobatan.
"Beban terberat itu dari penyakit tidak menular karena biasanya seumur hidup dan pengobatannya memerlukan biaya besar. Kasus seperti itu yang tercatat di BPJS Kesehatan terus melonjak, dan dana yang dikeluarkan untuk itu terus meningkat," katanya.
Defisit dan kebutuhan reformasi
Membaca artikel The Straits Times tersebut di atas dan meninjau situasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Indonesia dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto, mau tak mau kita harus menganalisisnya secara jernih dengan melihat berbagai dimensi masalah dan tantangan.
Proyeksi defisit Rp 20 triliun pada 2024 mencerminkan tantangan mendasar dalam pembiayaan JKN, di mana premi yang terkumpul jauh dari cukup untuk menutupi klaim yang terus meningkat. Hal ini diperparah oleh beban penyakit berat/jangka panjang yang terus melonjak (peningkatan lebih dari 70% sejak 2019 untuk klaim penyakit berat).
Premi yang rendah dibandingkan manfaat yang diterima menyebabkan ketidakseimbangan finansial. Penyesuaian premi adalah solusi cepat tetapi bukan solusi jangka panjang.
Tantangan pemerintah Prabowo
Program JKN adalah komponen vital dari jaring pengaman sosial. Namun, pemerintahan Prabowo menghadapi tantangan besar dalam memastikan keberlanjutan program ini di tengah ambisi lain seperti pemeriksaan kesehatan gratis untuk lebih dari 50 juta penduduk mulai 2025.
Jika defisit JKN tidak diatasi, pemerintah harus menutupi kekurangan tersebut melalui anggaran negara. Hal ini bisa membebani APBN, terutama jika bersamaan dengan komitmen pengeluaran lainnya.
Pemeriksaan kesehatan gratis adalah inisiatif yang baik untuk deteksi dini dan pencegahan, tetapi juga membutuhkan investasi awal yang besar, baik untuk infrastruktur kesehatan, tenaga medis, maupun kampanye kesadaran masyarakat.
Strategi penyelesaian