Awas Impostor Syndrome di Kantor Anda
Kinerja suatu organisasi dipengaruhi secara dominan oleh kualitas tenaga kerjanya atau sering disebut sumberdaya manusia. Karenanya penting bagi suatu organisasi untuk menjaga kualitas dari sumberdaya manusia yang dimilikinya. Di antara aspek yang perlu diperhatikan adalah kesehatan psikologis pegawai. Kondisi psikologis tersebut mempunyai pengaruh dalam hal kinerja individu yang secara kolektif tentu berdampak pada kinerja organisasi.
Dalam dunia kerja sekarang yang serba cepat, serba sulit diterima, serba IT, dan serba-serbi lainnya, terdapat suatu kondisi psikologi yang meskipun bukan termasuk dari masalah gangguan jiwa namun dapat berdampak negatif dalam hal potensi yang memicu rasa cemas, stres, dan depresi pada seseorang. Fenomena psikologis tersebut dikenal sebagai Impostor Syndrome.
"Impostor Syndrome" pertama kali ditayangkan oleh dua psikolog yaitu Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes. Di awal penelitian, diketahui sindrom ini banyak dijumpai pada wanita cerdas dengan capaian prestasi tinggi. Lalu, penelitian terus berlanjut dari tahun ke tahun menunjukkan Impostor Syndrome tidak hanya pada wanita, tetapi juga ditemukan pada pria.
Seseorang yang mengalami kondisi Impostor Syndrome merasa kesuksesan atau pencapaian yang mereka raih sebenarnya tidak pantas atau tidak sesuai dengan kemampuan atau nilai mereka. Mereka yang mengalami kondisi psikologis ini cenderung meragukan kemampuan mereka sendiri dan juga merasa orang lain pada akhirnya akan tahu mereka sebenarnya tidak kompeten.
Singkatnya Impostor Syndrome, atau untuk mudahnya kita sebut saja "sindrom penipu," adalah fenomena psikologis yang cukup umum di mana seseorang merasa tidak layak atas pencapaian yang sudah diraihnya. Mereka seringkali merasa seperti penipu yang suatu saat akan ketahuan tidak memiliki kemampuan yang sebenarnya. Meskipun tampak percaya diri dan sukses di luar, di dalam diri mereka seringkali berkecamuk perasaan ragu, takut gagal, dan tidak cukup baik.
Mengapa Sindrom Impostor terjadi
Penyebab pasti Impostor Syndrome masih terus diteliti, namun beberapa faktor yang sering dikaitkan dengan kondisi ini antara lain membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang dianggap lebih sukses dapat memicu perasaan tidak layak. Media sosial, dengan "highlight reel" kehidupan orang lain, seringkali memperparah perasaan ini; mereka yang memiliki standar yang sangat tinggi untuk diri sendiri cenderung merasa tidak pernah cukup baik; perfeksionis, karenanya seringkali takut membuat kesalahan dan merasa harus selalu sempurna; pengalaman masa kecil yang negatif, seperti kritik yang berlebihan atau kegagalan yang berulang, dapat membentuk pola pikir negatif yang bertahan hingga dewasa; beberapa budaya menekankan pencapaian dan kesuksesan, yang dapat meningkatkan tekanan untuk selalu tampil sempurna.
Dampak
Impostor Syndrome tidak hanya mempengaruhi kepercayaan diri, tetapi juga dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan, seperti menghindari promosi, kesulitan mengambil keputusan, dan kurangnya motivasi untuk berkembang; sulit membangun hubungan yang intim karena takut ditolak atau dianggap tidak layak; stres, kecemasan, dan depresi yang berkepanjangan.